Minggu, 10 Juli 2016

Pengorbanan Gus Dur Untuk Bumi Pertiwi (Oleh : Ayah Debay)

SATU HATI SATU CINTA GUS DUR

Disamping presiden yang hebat, terdapat ibu negara yang hebat pula. Bung Karno berada di kekuatan puncaknya saat beristri Ibu Inggit Garnasih. Sebaliknya, ketika beristri seorang geisha asli Jepang, Bung Karno menjadi lupa diri dan mudah sekali marah.
Pak Harto pun demikian. Pak Harto mulai terlihat sangat “kasar” dalam upaya-upaya mempertahankan kekuasaan, ketika Ibu Tien sudah meninggal. Bagi kalangan yang tidak paham ilmu psikologi, biasanya hanya akan mengkaitkan lengsernya Pak Harto dengan peristiwa meninggalnya Ibu Tien dari kacamata mistik, misalnya tusuk konde.
Terkait dunia spiritual mempengaruhi dunia kasat mata, ada teman yang berkelakar, “Saya baru percaya hal-hal seperti itu, kalau ada gelandangan kolong jembatan bisa menikahi artis Dian Sastro Wardoyo, hanya berbekal ilmu pelet!”
Istri itu luar biasa penting bagi seorang laki-laki. Sehebat-hebatnya Bung Karno dan sedingin-dinginnya Pak Harto, pengaruh istri tetaplah sangat signifikan. Tak terkecuali bagi Gus Dur.
***

Bagi Gus Dur, Ibu Shinta adalah segalanya. Yang terkasih, yang tersayang, dan yang tercinta… Shinta Nuriyah adalah kesejatian bagi seorang Abdurrahman Wahid. Satu-satunya wanita sejati di dalam hati beliau.
Secara kuantitas, Gus Dur kalah jauh dari Bung Karno dan Pak Harto. Gus Dur tidak sampai 2 tahun menjabat. Tapi, secara kualitas, Gus Dur melebihi keduanya, bahkan seluruh presiden di dunia. Tidak ada presiden yang dilengserkan di tengah jalan tanpa menimbulkan korban jiwa, selain Gus Dur.
Satu kematian pun tidak. Tidak ada rakyat yang tewas saat Gus Dur dijatuhkan secara paksa. Silakan Anda sekalian cek sendiri buku-buku sejarah dunia. Tidak ada presiden manapun di dunia ini yang dijatuhkan di tengah jalan tanpa ada pertumpahan darah, kecuali beliau.
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian,” kata Gus Dur pada waktu itu. Gus Dur berbuat demikian, karena beliau mencintai Indonesia. Pasalnya, pada suasana genting tersebut, lebih dari dua juta pasukan santri siap membumi-hanguskan Ibokota Jakarta.
Seperti kesaksian Gus Mus, di tiap-tiap kantong NU, ada puluhan ribu santri siap membela Gus Dur. Padahal, seperti kita tahu kantong NU bukan hanya Jawa Timur, dan itu artinya Ibukota Jakarta mustahil bisa bertahan. Harap diingat satu-satunya daerah yang tidak bisa dihancurkan koalisi tentara Sekutu zaman dahulu adalah kota Surabaya.
Lantas, apa hubungannya? Kota Surabaya menjadi satu-satunya daerah yang tidak bisa dikuasai koalisi militer negara-negara pemenang Perang Dunia II adalah karena kota itu dilindungi laskar santri NU. Mbah Hasyim Asy’ari (kakeknya Gus Dur) sendiri yang turun tangan. Maka dari itu, meski digempur berminggu-minggu, kota Surabaya tidak pernah menyatakan “menyerah” ke pihak Sekutu.
Berbeda dengan kekuatan Jakarta. Digempur beberapa hari saja, Jakarta sudah jatuh. Hingga membuat Bung Karno dan Bung Hatta mengungsi ke Yogyakarta, pagi-pagi buta naik kereta api. Bisa dibayangkan bila Gus Dur mengizinkan para santri menyerbu Jakarta?
Inggris bisa dilinggis, Amerika bisa disetrika, apalagi cuma untuk menguasai Ibukota Jakarta. Mudah sekali bagi Gus Dur untuk mempertahankan diri. Tapi, bagi beliau, bangsa Indonesia lebih penting daripada kursi kepresidenan. Ada keluarga yang menanti para tentara Indonesia pulang kerja.
Beliau tidak tega ribuan keluarga nantinya menangis kehilangan hanya karena urusan politik. Mbah Yai Abdurrahman Wahid masih memikirkan keluarga para tentara, meski moncong tank-tank militer Indonesia mengarah ke istana kepresidenan. Mbah Yai Abdurrahman Wahid juga tidak rela jutaan santri sampai meninggal hanya karena dirinya. Janganlah kita tanya sebesar apa cinta beliau pada NU.

Gus Dur memilih lebih baik hancur sendirian daripada harus melihat perang saudara. Jangankan melihat para santrinya gugur, melihat para tentara yang mengepungnya terluka saja tidak tega. Semua bagi Gus Dur adalah sama; rakyat.
Karena beliau adalah presiden rakyat, beliaupun rela “mempermalukan” dirinya sendiri demi rakyat. Sengaja pakai baju tidur dan celana pendek, beliau keluar dari istana. Menyapa para pendukungnya. Suasana yang sudah sangat panas mendadak cair. Semua santri dan tentara yang sudah saling berhadapan siap perang mendadak tertawa bersama.
Sebuah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang presiden yang mementingkan pencitraan. Meski disaksikan banyak orang dan diliput media massa dari seluruh dunia, Gus Dur tidak peduli.
***
Dulu Pak Harto memang menang perang tanding atas Bung Karno, tapi efeknya ada jutaan rakyat Indonesia tewas terbunuh. Semua presiden lain di seluruh dunia yang lengser di tengah jalan pun demikian. Pasti di atas banjir darah.
Tetapi, fenomena itu pernah tidak terjadi satu kali, dan hanya terjadi di Indonesia. Gus Dur pilih mengalah, agar tidak ada satu pun rakyat Indonesia yang tewas. Diiringi shalawatan dan istri tercinta, Sultan Abdurrahman Wahid rela diusir dari istananya sendiri.
Ciri-ciri seorang ksatria sejati adalah tidak mau menang jikalau kemenangan perang tersebut bisa berakibat kehancuran-kehancuran. KH. Abdurrahman Wahid adalah orang yang agung. Seorang zahid. Dunia tidak dicintainya, apalagi sampai dikejar-kejar.
Para pembaca sekalian, kondisi Indonesia sehancur sekarang adalah karena banyak sekali orang sangat keduniawian. Uang tidak dimasukkan ke dompet, tapi dimasukkan ke hati. Uang tidak terletak di genggaman tangan, tapi ditaruh di atas kepala.
Uang tidak dijadikan alat mempertahankan hidup, tapi sudah dijadikan tujuan hidup dan kehormatan diri. Banyak orang ingin jadi seorang pemimpin adalah karena ingin menumpuk kekayaan lebih banyak. Dengan menjadi seorang pejabat, diharapkan bisnis perusahaannya semakin berkembang. Hal itulah alasan kenapa Indonesia tidak kunjung membaik.
Satu-satunya hal di dunia ini yang pernah dikejar Gus Dur adalah Ibu Shinta Nuriyah. Meski jalan cinta tersebut berat, Gus Dur tidak gentar. Beliau tetap berjuang. Hingga sepucuk surat dari Ibu Shinta berisi balasan cinta tiba.
Pernah suatu ketika Gus Dur muda akan dijodohkan oleh seorang kiyai yang dihormatinya dengan santriwati lain, beliau pilih melarikan diri. Pura-pura pamit ke dapur, lalu memanjat jendela, dan melompat keluar. Sebab hati beliau ada satu, dan hanya untuk mencintai Ibu Shinta. Sebab jantung beliau ada satu, dan hanya bisa ditulisi sebuah nama; Shinta Nuriyah.
Di samping presiden yang hebat, ada ibu negara yang hebat pula. Sangat wajar Gus Dur mampu mengungguli semua presiden di dunia ini, karena disamping beliau ada sesosok wanita keibuan yang memiliki ketulusan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar