Kisah Ini ditulis oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Sekitar tahun 2002, aku resmi menjadi seorang Santri di Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Bandung yang diasuh KH. Q. Ahmad Syahid. Waktu itu para santri biasa memanggil beliau dengan sebutan 'Ayah'. Di pesantren ini, selain mondok, aku juga melanjutkan sekolah Tsanawiyah. Pilihan untuk menjadi seorang Santri, bukanlah atas kemauan Bapak atau Ibuku, tapi aku sendiri. Bukan apa-apa, semenjak kelas 3 SD sampai 6 SD, bermain Judi telah menjadi candu hidupku. Aku ingin kebiasaan ini hilang.
Salah satu kawan kobongku, Ari namanya, merupakan pelanggan majalah Islam Sabili selama di pondok. Tak jarang aku ikut membaca majalah itu setelah dirinya selesai. Ada dua isu besar yang selalu diangkat majalah tersebut: Penegakkan Syaria't Islam dan Gus Dur. Karena aku tidak tertarik tentang Syari'at Islam ala Sabili, maka berita Gus Dur menjadi fokusku waktu itu.
Sedikit demi sedikit, untuk pertama kalinya, kebencian kepada seorang manusia tumbuh dalam diriku, dan semakin lama kebencian itu semakin menegas. Kepada siapa aku benci? Kepada Gus Dur. Siapa penyebabnya? Majalah Islam Sabili.
Di tengah kegiatanku membaca al-Qur'an dan mengaji Kitab Kuning, kebencianku kepada Gus Dur begitu mengkristal. Bagiku, dia adalah Kyai yang membela kemaksiatan, Kyai yang murtad karena sudah dibaptis masuk Kristen, Kyai yang mendukung pemurtadan, Kyai yang menyebabkan terbunuhnya para Kyai di Jawa, Kyai yang membuat orang Islam di Poso dipenggal dan dibunuh.
Semua isu itu diulang-ulang majalah Sabili pada banyak edisi. Aku sungguh percaya pada semua beritanya. Dan kepercayaan itu kuwujudkan dengan penghinaan serta cacian, "Di Neraka nanti, Gus Dur adalah pemimpin para Kyai yang sebenarnya busuk dan munafik.!" Bahkan kekurangan Gus Dur secara fisik, selalu kuperagakan di depan kawan-kawanku sambil tertawa dan mengejek.
Keterkejutanku tiba, ketika Ayah mengadakan pengajian bersama Gus Dur di Pondok. Para Ustadz dan Kyai-kyai kampung sekitar pondok diundangnya. "Kenapa Ayah mengundang Kyai edan itu? Biar semua santri dan masyarakat menjadi sesat seperti dirinya?"
Diam-diam hatiku mengutuk keputusan Ayah. Betapa marahnya aku pada kedatangan Kyai Sinting itu yang pasti akan mengotori Pondok.
Tapi tak bisa dipungkiri, selain kutukan yang kulemparkan, ada kepenasaran yang lahir diam-diam. Setahuku, Ayah adalah Kyai kharismatik, begitu indah perangainya, sangat luas ilmunya, dan selalu berhati-hati dalam memilih kawan.
Lalu bagaimana mungkin Ayah menjadikan Kyai edan semacam Gus Dur sebagai kawan? Bahkan sesekali kudengar, Ayah menyebut Gusdur sebagai salah satu Guru yang dihormatinya. Walah bahaya. Siapa yang harus kupercaya dalam menilai Gus Dur? Majalah Sabili yang tak pernah kutemui orang-orang di baliknya? Atau Ayah yang setiap hari mengajariku dan mengasuhku di Pesantren?
Ah, pertanyaan dalam diriku tentang siapa sebenarnya Gus Dur, rupanya tak terjawab sampai aku meninggalkan Pondok Pesantren al-
Falah dan menyelesaikan Aliyah di al-Musaddadiyah Garut. Sedangkan kebencian dan kepenasaranku pada Gus Dur, tetap mengendap, tak terendus, tak terlihat, membasahi palung ingatan.
Ketika keilmuanku bertambah matang, dan hati nurani telah mampu 'mempertimbangkan', benci pada Gusdur akhirnya remuk, bahkan mewujud menjadi rindu dan cinta. Bagaimana proses 'perpindahan rasa' itu terjadi? Lain kali akan kuceritakan. Sedangkan Ari sendiri, temanku yang pelanggan majalah Sabili itu, sudah tak berhasrat menegakkan Syariat Islam yang dipropagandakan majalah Sabili, hari ini dia telah menjadi Bobotoh Sejati PERSIB.(Sanghyang Mughni Pancaniti)
Dikutip dari : AL Jazzera .com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar