Minggu, 10 Juli 2016

Gus Dur Membuat NU Dikenal dan Dihormati Dunia (Oleh : Dewa Gilang)

Gus Dur Membuat NU Dihormati Dunia (Oleh : Dewa Gilang)

Tak terasa, tepat hari Kamis,27/09/2012, telah 1000 hari Gusdur meninggalkan kita. Terhitung sejak 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB, bangsa ini kehilangan sosok "soko" gurunya. Lautan manusia dan maraknya acara haul ke-1000 hari wafatnya Gusdur menjadi pertanda bahwa betapa rakyat negeri ini sangat kehilangan Beliau.

NU, sebagai lembaga yang pernah dipimpin Gusdur selama tiga periode, jelas sangat kehilangan Gusdur. Sebab, diakui atau tidak, Gusdur-lah yang mengangkat nama NU ini sehingga diperhitungkan di kancah nasional dan dikenal oleh kalangan luar. Sebelum kehadiran Gusdur, bisa dikatakan NU terpuruk dan mengalami masa suram. Lembaga ini bak kehilangan wibawanya akibat "akrobat" politik sebagian kiai-nya. Hingga muncul seorang Gusdur, yang melalui Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 mengambil keputusan penting, yaitu mengembalikan NU kepada Khittah-nya, untuk menyelamatkan kewibawaan NU secara kelembagaan.


Secara pelan namun pasti, Gusdur menarik gerbong NU ini sehingga diperhitungkan di kancah politik nusantara. Kewibawaan NU-pun secara perlahan mulai pulih di bawah komandannya. Meski itu berbuah penindasan dari rezim Orde Baru terhadap Gusdur. Sejarah mencatat, Muktamar NU 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, merupakan puncak gunung es dari segala bentuk penindasan rezim Orde Baru terhadap Gusdur dan NU yang dipimpinnya. M. Mas'ud Adnan dalam "Sunan Gusdur: Akrobat Politik Ala Nabi Khidir" mencatat, Gusdur, ketika itu, yang nota bene adalah tuan rumah, tak diperbolehkan menyalaminya tamunya, yaitu Presiden Soeharto, pada saat Presiden Soeharto hadir dalam hajatan akbar NU itu. Tak cukup hanya itu, Muktamar Cipasung juga dicatat sebagai waktu lahirnya NU tandingan dengan Abu Hasan sebagai Ketua Umum. Kabar yang beredar menyatakan bahwa Soeharto tak merestui cucu pendiri NU itu menjadi Ketum PBNU untuk kedua kalinya. Namun bukan Gusdur namanya bila menyerah di bawah tekanan rezim. Gusdur justru bermain cantik. Menjelang Pemilu 1997, Gusdur dengan "enak"-nya ber-wara-wiri, asyik ber-lenggang-kangkung dengan Mbak Tutut. Ia menemani putri Soeharto itu ber-safari politik mengunjungi "kantong-kantong" NU. Bahkan tak hanya Mbak Tutut, Megawati-pun ia gandeng. Sungguh manuver politik yang tak dimengerti oleh banyak pihak, termasuk "umat"-nya sendiri. Walhasil, NU dan Gusdur tetap berdiri kokoh. Bahkan Gusdur berhasil meraih kursi ke-Presidenan.


Semenjak di tangan Gusdur-lah nama NU juga mulai dikenal di kalangan pengamat luar. Benedict R. O'G Anderson, pengamat Indonesia-AS, menyatakan, sampai tahun 1975 tidak ada satu-pun tulisan tentang NU. Anderson juga menyatakan, pada 1975 sedikit sekali akamedisi- terutama di Barat- yang tahu NU, bahkan belum ada disertsi doktor tentang NU. (Sunan Gusdur: Akrobat Politik Ala Nabi Khidir, M. Mas'ud Asnan). Anderson tak sepenuhnya salah atau benar. Sebab, nyatanya, sebelum hadirnya Gusdur ada banyak tulisan perihal NU. Namun, hampir dipastikan seluruh tulisan tentang NU tersebut menggambarkan NU sebagai organisasi yang kolot, terbelakang, abangan, kaum sarungan, dan lain sebagainya. Bahkan, Ridwan Saidi pernah menyebut Kiai-kiai NU sebagai tokoh kandang, yang hanya bisa berkomunikasi secara oral (pidato), tapi gagap dalam tulisan alias tak bisa menulis. Stigma NU yang demikian seakan hilang dengan hadirnya seorang Gusdur. Beliau tampil ke depan, menggebrak melalui tulisan-tulisannya yang dimuat oleh surat kabar terkemuka di Indonesia.


Secara tak langsung, Gusdur mengangkat harkat-martabat NU. Dari stigma kolot dan terbelakang menjadi intelek dan terkemuka. Gusdur pula yang mengilhami tokoh-tokoh NU, seperti Mahbub Djunaidi, Masdar F Masudi, untuk berani menuangkan buah pikirnya ke dalam suatu artikel. Tak hanya NU yang diangkat Gusdur, kiai-kiai NU-pun satu persatu mulai diangkat oleh Gusdur melalui berbagai tulisannya. Dalam artikelnya "Kiai Nyentrik Membela Pemerintah", misalnya, Gusdur menggambarkan sosok KH. Muchit Muzadi (kakak kandung mantan Ketum NU, KH Hasyim Muzadi), yang dianggap lebih unggul ketimbang intelektual. Gusdur, dalam artikelnya, menyebut Mbah Muchit sebagai "ulama intelek". Menurut Gusdur, "ulama intelek" lebih unggul ketimbang "intelek ulama" alias intelektual. "Ulama intelek", tulis Gusdur, cenderung realistis dalam sikap politik, lebih memikirkan hati dalam mengajarkan agama. Dengan menyimak uraian di atas dan bagaimana kiprah Gusdur di NU, maka tak berlebihan jika KH. Muchit Muzadi pernah mengibaratkan Gusdur sebagai "Jimat NU". Namun, kini sang "Jimat" itu telah 1000 hari berpulang. NU -walau bagaimana pun kehilangannya- tetap harus berjalan, hingga pada akhirnya menemukan kembali sosok lainnya yang pantas menyandang gelar sebagai "Jimat NU". Selamat Jalan Gus...dari kami -anak muda NU- yang banyak berhutang budi kepadamu. Alfatihah... Salam berang-berang. Selamat menikmati hidangan. NB: ditulis sevagai refleksi atas 1000 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dewagilang98/kiai-nu-dan-nu-berhutang-budi-kepada-gus-dur_551807e4a333113107b663ef

Tidak ada komentar:

Posting Komentar