Kamis, 21 Juli 2016

Gus Dur Refleksi Hidup Seorang Negarawan (Oleh : Amiruddin Faisal)

Gus Dur Refleksi Hidup Seorang Negarawan
Oleh : Amiruddin Faisal
Admin Grup Sahabat Gus Dur

Banyak cerita , banyak canda, bahkan banyak kontroversi dari sosok beliau.

KH Abdurrahman Wahid yang merupakan anak dari Wahid Hasyim menteri Agama pertama RI dan cucu jam'iyah nahdlatul ulama sering di sapa Gusdur.
Gusdur yang lahir di Jombang,Jawa Timur, 7 September 1940. Nama kecil Gusdur adalah Abdurrahman “Addakhil”, Secara leksikal, Addakhil artinya “Sang Penakluk”, nama ini diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol oleh ayahnya. Setelah itu nama Addakhil tidak begitu dikenal dan diganti dengan nama Wahid, Abdurrahman Wahid.

Gus Dur merupakan presiden ke-4 RI, Gus Dur mulai menjabat menjadi presiden pada tanggal 20 Oktober 1999 sampai 24 Juli 2001.
Walaupun Cuma dalam waktu singkat Gusdur memimpin negara ini tapi banyak kebijakannya ataupun tindakannya yang di nilai sebagian orang sangat kontroversi, tetapi jika di makanai sejara jernih semuanya merujuk kepada prediksi masa depan yang tanpa kita sadari kita alami saat ini.
Banyak cerita sewaktu Gusdur menjadi presiden RI, beliau pernah mengeluarkan statement bahwa anggota DPR tidak beda seperti taman kanak-kanak, menghapus beberapa kementrian karena di anggap sebagai perusak negara dan banyak hal sehingga Gusdur di lengserkan dari kursi Presiden dan secara mengejutkan juga Guru bangsa kita tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Dalam karir sosial, kebudayaan dan islam Gusdur,dapat kita lihat Pada tahun 1984, Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan sebagai ketua umum dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama dia menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur yang kontroversial. Seringkali pendapatnya itu berbeda dengan kebanyakan orang.

Dengan kegigihannya dalam perjuangan dan pemikirannya atas kemanusiaan baik di Indonesia maupun di dunia Gus Dur banyak sekali mendapatkan gelar kehormatan dari berbagai lembaga dan mendapat berbagai penghargaan dari berbagai lembaga lokal, nasional maupun internasional.
Kemudian Gus Dur juga diakui kapasitasnya di kalangan akademik sehingga beberapa kali mendapat gelar dari berbagai universitas.
KH Abdurrahman Wahid memiliki pemikiran yang cukup unik dan jernih serta kontroversi. Di mata sebagian masyarakat minoritas Gusdur merupakan sosok Guru bangsa yang mampu mengayomi serta mengakomodir komunitas yang sanga minoritas di Repoblik ini. banyak julukan yang di sematkan kepada Presiden ke 4 RI ini, antara lain Guru Bangsa karena Gusdur di anggap bukan hanya pemimpin atau panutan warga NU saja, tetapi Gusdur juga di anggap panutan bagi semua kalangan bahkan bagi para masyarakat Non Muslim. Gusdur juga di juluki Bapak Pluralisme karena konsepnya di mana semua orang di mata tuhan sama, Bapak Tionghoa karena di saat Gusdur menjadi presiden Imlek pun di akui di Indonesia dan di jadikan hari libur nasional.Gusdur pun bisa di juluki sang Semar.

Boleh dibilang pemikirannya mampu melewati zamannya, karena banyak orang harus memikirkan dengan keras apa yang menjadi pemikirannya. Beliau juga dikenal sangat kontroversial.
KH A Mustafa Bisry menyebut pemikiran Gusdur sebagai pelajaran tuhan. Sampai saat ini pasti belum ada bahkan tidak ada orang yang mampu meanndingi Gusdur dalam mengumpulkan banyak julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam pengumpulan julukan itu. Mereka yang melihat betapa Gus Dur begitu `fanatik` dan gigihnya menyesuaikan sikapnya dengan firman Allah “Walaqod karramna banii Adama…”(Q. 17:70), mungkin akan menjulukinya humanis. Mereka yang melihatnya begitu `taat` dan gigih mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan menjulukinya nasionalis, mereka yang melihatnya sebagai orang yang memiliki tingkat kualitas spiritual, mungkin akan menjulukinya seorang wali. Demikian seterusnya.
Kadang setiap perkataan Gusdur sangat sederhana tapi mampu membuat banyak orang melakukan banyak perdebatan dari perkataan Gusdur. Perjuangan pemikiran Gus Dur mampu melewati semua jenis disiplin ilmu, mulai dari agama, filsafat, tasawuf, tata bahasa, kebudayaan dan kesenian, humor, demokrasi, pluralisme, humanisme, nasionalisme. Dengan ide-idenya yang cemerlang, pemikiran Gus Dur mampu menjadi komentator sosial yang mampu membuat gelisah dan menyadarkan banyak kalangan terutama pemerintahan saat itu.

Pemikiran intelektual Gusdur berkembang dan di bentuk dari pendidikan Islam klasik dan pendidikan barat modern. Ini di lihat karena dari kecil Gusdur bergelut dalam dunia pesantren dan pada saat tamat SMA Gusdur melanglang buana ke timur tengah dan Eropa. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan, membaca, dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Mungkin ia mengerjakan hal ini lebih lengkap daripada mayoritas intelektual di Indonesia, yang kemudian membuat Gus Dur menjadi bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-hal yang lebih substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran, terbuka, dan inklusif.

Menurut Greg Barton, pemikiran Gus Dur, ia kategorikan dalam salah satu cendekiawan Neo-Modernis. Di antara karakter intelektual yang digolongkannya dalam kelompok Neo-modernis bahwa dalam memahami ajaran Islam banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme berijtihad secara konstekstual. Berusaha memuat sintesis antara khazanah klasik dengan keharusan berijtihad, serta apresiatif dengan gagasan barat terutama dalam ilmu-ilmu social dan humaniora. Neo-Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat yang ada, condong untuk menekankan sikap toleran dan harmoni dalam hubungan antar komunitas.

Kemampuan Gus Dur dalam mengkonstruksikan pemikirannya tidak dapat dipungkiri. Seperti halnya perihal negara “Indonesia” yang harus diIslamkan, Gus Dur jelas-jelas mempertanyakan konsep ini, baginya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak memiliki kejelasan formatnya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Tentang negara Islam yang dipikirkan sebagian orang itu hanya memandang Islam dari sudut institusionalnya saja. Selama tidak ada kejelasan tentang hal di atas, sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan. Di tambah penyatuan konsep kebudayaan,keislaman serta kenegaraan yang tidak bisa lepas dari konsep kebangsaan yang dimiliki Gusdur.

Kemudian Gus Dur berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara dan masyarakat, dimana pada masa orde baru Negara terlalu kuat atau otoritarian, sementara masyarakat terlalu lemah. Ia dengan pemikiran dan pengembangan gerakan kemasyarakatan berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara dan pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Perjuangan Gus Dur terhadap demokrasi untuk negara, sudah bukan menjadi rahasia lagi, banyak orang yang mengetahui dan mengenal. Pemikiran Gus Dur tentang Indonesia yang dicita-citakan adalah menjadi negara yang demokrasi yang memiliki pengaruh kecil terhadap militer dan tidak ada fundamentalisme dalam agama. Baginya di kehidupan yang modern ini demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi proses diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya.

Gus Dur sebagai satu-satu nya orang yang pertama kali mensuarakan kembali terhadap gagasan pribumisasi Islam. Dengan artian yang dipribumikan itu manifestasi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Ini yang telah dilakukan para pelopor dakwah “wali songo” dalam proses Islamisasi di Indonesia. Bisa dilihat bahwa pemikiran dan gerakan Gus Dur tidak jauh berbeda dengan para wali bisa disebut juga sufi.

Gus Dur dikenal juga sebagai sosok yang humoris. Pemikiran dan sikap kritisnya terhadap realitas kehidupan sering disampaikan melalui humor, sehingga yang setuju maupun tidak sama-sama tertawa. Bahkan ia disejajarkan dengan filsuf Yunani, Socrates, yang gemar melontarkan komentar-komentar humoristis. Perlawanan yang Gus Dur lakukan mungkin banyak tidak diketahui orang, bahwa sebenarnya ia sedang mengadakan perubahan dan kritik besar besaran yang disampaikannya lewat lelucon.

Di dunia internasional pun pemikiran Gus Dur diterima banyak kalangan intelektual dunia. Bahkan banyak yang melakukan penelitian secara khusus terhadap pola dan gaya pikirannya. Tidak aneh pula bila beragam penghargaan didapatkan Gus Dur dari dunia internasional.
Pemikiran Gus Dur memiliki kekuatan aroma sufistik. Seperti gagasannya tentang Tuhan tidak perlu dibela, ia menuturkan bahwasannya, Al-Hujwiri mengatakan, bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “Ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya, Yang di takuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya. Gus Dur menghiasi serta menjalankan jalan pikirannya sama halnya dengan guru tarekat itu.

Dalam pemikiran spiritual Gus Dur bisa disebut sebagai sufi sejati. Ia pemaaf, meski kepada musuh yang jahat sekalipun. Meski dicaci karena membela non-muslim ia sabar dan tenang, tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun. Gus Dur memang sudah menjadi fenomena yang menarik sekaligus unik, terutama dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia bahkan diperhitungkan dalam wacana politik. sementara itu, ia mampu mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan Nahdliyyin. Menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan tempat berkonsultasi, menyampaikan keluhan, dan mencari informasi, kadang-kadang juga dimintai restu dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Gus Dur tampaknya bukan lagi seorang figur, ia sudah menjadi simbol atau bahkan sebuah mitos.

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB di usia yang ke 69 tahun

Rabu, 20 Juli 2016

NU: Jami’iyah dan Jama’ah (Oleh: KH. Abdurrahman Wahid)

NU: Jami’iyah dan Jama’ah
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kini tantangan melakukan modernisasi dalam NU mengambil bentuk modernisasi sistem pengelolaannya. Warga NU telah banyak yang menggunakan computer untuk urusan sehari-hari, hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga harus melaksanakannya. Di kantor PBNU yang baru, bertingkat Sembilan, terdapat sebuah lift sampai ke basement/lantai dasar. Seiring dengan itu, anak-anak dari pimpinan NU, dari tingkat pusat sampai tingkat dusun banyak yang menguasai berbagai bidang profesi, mengikuti berbagai jenjang pendidikan formal. Pada waktu penulis berbicara di muka pertemuan Ikatan sarjana NU (ISNU)- yang para pesertanya berjumlah sekitar 200 orang lulusan S2 dan peserta S3 di berbagai Universitas. Lebih banyak lagi yang tidak mengikuti pertemuan tersebut, karena kesibukan pekerjaan maupun letak kediaman mereka yang jauh dari Jakarta.

Ini tentu, menimbulkan berbagai kesulitan bagi pimpinan NU di berbagai tingkatan. Adakah ukuran yang digunakan menjadi berbeda-beda? Bukankah perbedaan pendidikan juga bisa mengakibatkan perbedaan profesi yang selanjutnya menjadi perbedaan dalam menggunakan nilai-nilai yang dianut seorang kiai dengan nilai-nilai yang dimiliki generasi muda. Ketika ayah penulis, KH. A. Wahid Hasyim, melakukan pembaruan pendidikan formal dengan membuat kurikulum campuran, jelas ia berbeda dari ayahnya yang masih mengajarkan kitab-kitab lama dengan menggunakan terjemahan bahasa Jawa di masjid Tebuireng, Jombang. Cara ayah beliau, sekarang diikuti oleh berbagai pesantren besar yang menggunakan kurikulum dan teks-teks pengajaran yang dinamai madrasah salafiyah (pesantren di Sukorejo/Asembagus di Situbondo, Ploso dan Lirboyo di Kediri adalah contoh dari model ini)

Sebaliknya, Pondok Pesantern Tebuireng, Jombang, menggunakan kurikulum campuran dan bahkan menyelenggarakan bidang pendidikan formal berupa Sekolah Menengah Umum (SMU) tingkat pertama dan tingkat lanjutan. Begitu banyak variasi pendidikan formal yang dikembangkan di lingkungan NU, hingga payah kita menelusurinya. Yang semua itu, berpegang pada modernisasi harus bertumpu pada tradisionalisme. Karenanya, tuntutan perbaikan sistem merupakan dua buah perkembangan yang harus mencerminkan perjalanan NU sendiri. Para lulusan S2 dan penuntut S3 harus memperhitungkan tradisionalisme orang tua mereka, jika ingin meraih gelar kesarjanaan berbagai tingkatan tanpa gangguan.

Dalam pada itu, peranan kiai melalui pengajian umum dan wahana lain sejenis, juga tidak surut. Mereka melakukan modernisasi dengan cara mereka sendiri, termasuk dengan memperkenankan anak-anak mereka menjadi sarjana penuh bahkan S2/S3, setelah melalui pendidikan model lama yang sama sekali tidak memperhitungkan pendidikan formal non-agama di bawah tingkatan perguruan tinggi. Dengan sendirinya, ini berarti setahun dua tahun jenjang pendidikan lebih lama dari pada kalau mengikuti jenjang pendidikan campuran, tetapi itu pun sudah banyak dilakukan. Belum lagi kalau kita ingat variasi, yaitu anak-anak Kiai yang mengalami pendidikan cara lama, kemudian mengikuti jenjang pendidikan di fakultas-fakultas agama, seperti institut agama Islam negeri (IAIN) dan sekolah-sekolah tinggi agama Islam (STAI).

Dengan demikian, telah terbukti, penguasaan mata pengetahuan agama tetap dipandang sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai. Dengan mengetahui hal ini, kita lalu memahami mengapa ada berbagai jenis pendidikan yang ditempuh anak-anak NU, dari yang sepenuhnya pendidikan perguruan tinggi formal tanpa mengenal pengetahuan agama (perguruan tinggi umum, hingga tingkatan pendidikann ilmu-ilmu keagamaan Islam belaka). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kaum muslimin menempuh jalan pendidikan formal yang tidak sama, dan dengan sendirinya ini berarti jama’ah (kumpulan orang banyak) yang dihasilkan juga berbeda-beda.

Dari uraian di atas, tampak jelas persepsi warga NU yang sangat bervariasi itu tidak memungkinkan adanya penanganan kultural/budaya yang satu, berlaku untuk semua warga NU. Dari yang paling kuno dan hanya mencari pengetahuan intuitif (menggunakan, petunjuk-petunjuk batin yang tidak diketahui rasionalistiknya), hingga pada sikap hidup yang sangat rasionalistik dan sama sekali tidak mementingkan hal-hal spiritual. Dalam hal, haruslah diterima kenyataan bahwa sikap hidup intuitif yang tidak rasional, berhadapan dengan sikap hidup rasional, yang tidak memperhitungkan factor-faktor intuitif.

Jika demikian, jelas bahwa pembedaan antara yang organisatoris dan yang bersifat kultural, haruslah ditampung di lingkungan NU. Kita memang harus melakukan perbaikan-perbaikan organisatoris yang diperlukan, tetapi tanpa mengabaikan aspek-aspek intuitif (al-jawanib adz-dzauqiyyah) dalam kehidupan warga NU sekarang ini. Aspek-aspek intuitif ini, yang jelas sekali terlihat dalam karya al-Ghazali, Ihya ‘Ulûmid Dîn, benar-benar masih hidup dalam kenyataan yang diperlihatkan para kiai dan murid-murid mereka, masih berkembang sangat pesat di lingkungan NU. Hal ini disebut oleh penulis sebagai aspek-aspek kultural/budaya yang dimiliki organisasi Islam yang besar, seperti NU.

Dengan demikian, perbaikan sistem yang menyangkut NU sebagai organisasi, haruslah dapat menampung aspek-aspek intuitif tersebut. Hal inilah yang dengan sadar dibangun oleh tokoh-tokoh NU masa lampau, seperti KH. Mahfudz Siddieq, KH. Abdullah Ubaid, KH.A. Wahid Hasyim, dan KH. Ahmad Siddieq. Dengan sadar para pemimpin tersebut mencoba memasukkan aspek-aspek rasional dan aspek-aspek intuitif tersebut dalam pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Karena itulah, mereka dapat diterima oleh “kaum kiai kolot/tradisional” maupun oleh kaum rasional di lingkungan NU sendiri. Nah, kedua kecenderungan tersebut sepenuhnya didukung oleh keluhuran moralitas (al-akhlaq al-karimah) yang kemudian dihancurkan oleh sistem politik korup yang berdasarkan KKN seperti kita kenal beberapa dasa warsa terakhir ini.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aspek organisatoris/institusional harus menggunakan peralatan baru dan dibuat agar sesuai dengan ketentuan zaman. Tetapi, aspek-aspek intuitif juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena hal ini menyebabkan NU ditinggalkan oleh para kiai dan para pengikut-pengikutnya. Aspek-aspek organisatoris (jam’iyah) harus dapat menampung aspek-aspek intuitif (jama’ah) yang semakin dipersubur oleh hilangnya etika /moralitas/al-akhlaq al-karimah dari kehidupan kita dalam beberapa dasa warsa terakhir ini. Dalam lingkungan agama Khatolik-Roma, hal ini ditampung dalam dua organisasi yang saling berbeda: sistem kependetaan di satu sisi dan gerakan (kerasulan) awam, di sisi lain. Di samping hierarki Vatikan, ada perkumpulan masyarakat St. E’gidio di kota Roma. Dapatkah kedua jenis gerakan dengan kebutuhan yang berbeda ini dijadikan sebuah sistem, seperti terjadi di lingkungan NU sekarang? []

*) Tulisan ini pernah dimuat di Proaksi, 22 Februari 2002

Senin, 18 Juli 2016

Gus Dur adalah presiden yang punya hati (Oleh :Glenn Fredly)

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh yang menebar jejak kenang dan kesan kepada banyak kalangan. Ketika ia menjadi Presiden keempat RI misalnya, kebijakan Indonesia timur, terutama Papua, menuai kesan mendalam bagi rakyatnya.<>

“Gus Dur adalan presiden yang punya hati. Gus Dur adalah seorang yang selalu memberi inspirasi,” komentar Glenn Fredly saat tampil pada peringatan seribu hari wafat Gus Dur di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat malam, (28/9).

Menurut penyanyi kelahiran Jakarta berdarah Maluku ini, bukti Gus Dur memimpin dengan hati ialah melihat dan menjawab permasalahan Papua dengan dialog.

“Kepada masyarakat Papua, Gus Dur memberi kesempatan berbicara, membiarkan dan memberikan kesempatan hak-hak politiknya,” ujarnya.

Ia berharap, pemimpin ke depan, terutama pemimpin hari ini, bisa melihat bahwa hak politik setiap anak bangsa ini adalah hak yang dilindungi Undang-Undang.

“Pemimpin jangan menerapkan cara-cara kekerasan. Tapi berdialog dari hati ke hati, Bukan pemimpin yang berbicara dengan pencitraan. Tapi pemimpin yang bicara dengan hati. Dan Gus Dur sudah melakukannya,” tegasnya.

Seperti diketahui, semasa jadi presiden, Gus Dur menerapkan beberapa kebijakan kepada rakyat Papua. Ia memperbolehkan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua pada tahun 2000. Bahkan memberi izin dan bantuan dana bagi tokoh-tokoh Papua untuk menggelar Kongres Nasional Rakyat Papua II pada Maret 2000.

Kongres itu kemudian menetapkan berdirinya Presidium Dewan Papua yang dipimpin oleh dua tokoh Papua,Theys Hiyo Eluay asal Sentani dan Tom Beanal asal Pegunungan Tengah.

Tak cuma itu, Gus Dur memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora sebagai simbol adat Papua bersama Merah Putih sebagai bendera negara. Bahkan lagu Hai Tanahku Papua pun boleh didendangkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Karena itulah, Glenn mengaku, dalam hidupnya hanya dua orang yang dijadikannya sebagai inspirasi, yaitu Ketua Umum PBNU 1984-1999, dan penyanyi Franky Sahilatua.

“Saya merasa terhormat menyanyi untuk mengenang Gus Dur malam ini,” katanya.

Dikutip dari NU.online

Antara Gus Dur, Qashidah Burdah dan Maulid Nabi (Oleh : Ayah Debay)

Antara Gus Dur, Qashidah Burdah dan Maulid Nabi

Suatu saat, ketika Gus Dur berziarah di makam Syeikh Jumadil Kubro, Mojokerto, ia meminta Pak Maman Imadulhaq Faqieh, untuk membaca syair shalawat "ya rabbi bil Musthafa balligh maqashidana waghfir lana maa madla ya wasi'al karami."
Rangkaian bait yang sangat disukai Gus Dur itu adalah qashidah yang disusun oleh seorang pujangga hebat, yakni Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Bushiri (610-695 H./1296 M.). Beliau lahir di Maroko, dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Dan beliau seorang murid dari Shufi besar, yakni Syaikh Abil Hasan Al-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abul Abbas Al-Mursi (anggota tarekat Syadziliyah).
Kasidah Burdah adalah salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya adalah sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. Hingga saat ini tetap populer dan selalu dibaca saat peringatan Maulid Nabi. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.
Setiap kali ada orang yang membaca syair tersebut, bibir Gus Dur secara refleks ikut bergetar, wajahnya cerah berkaca-kaca dan tangannya ikut memukul paha, seakan-akan ada musik yang mengiringi syair tersebut. Kecintaan Gus Dur kepada Rasulullah Muhammad SAW. sangatlah dalam, hingga mendarah daging. Bahkan suatu saat ada salah satu ketua PBNU, Masdar F. Mas'udi yang sering menyebut sang Nabi dengan kata "Muhammad". Gus Dur mengkritiknya. Dan iapun bertanya, "Pak Masdar, Muhammad itu banyak. Kiai-kiai bingung, Muhammad mana yang Anda Maksud? Apa pekerjaannya?" Sebagai bentuk kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW, cerita ini sering ia ungkapkan.

Gus Dur menjelaskan bahwa Qashidah Burdah ini merupakan al-madaih al-nabawiyah (ungkapan hormat dan salut pada Rasulullah SAW) yang dikembangkan oleh para shufi sebagai cara untuk mengungkapkan rasa cinta yang sangat dalam. Kasidah ini terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa yang menarik, lembut dan elegan. Di samping itu juga berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, mengendalikan hawa nafsu, doa, pujian terhadap Al-Quran, Isra' Mi'raj, jihad dan tawassul.
Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Al-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada nabinya. Lebih dari itu, beliau juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Qashidah Burdah selalu dibaca di pesantren-pesantren salafiyah, dan bahkan diajarkan di pada tiap hari Kamis dan Jumat di Universitas Al-Azhar, Kairo, suatu tempat dimana Gus Dur pernah belajar disana.
Ketika suatu saat ada teman akrab Gus Dur bercerita tentang ekspresi masyarakat di daerahnya akan kecintaan pada Nabi Muhammad SAW. Gus Dur menyimak dengan seksama apa yang sedang diceritakan. Karena ia salah satu sosok pendengar yang setia dan menghargai pendapat orang lain. Sehingga, siapapun yang berbicara di hadapannya, ia selalu menyimak dengan baik.
Begitu juga Gus Dur menjelaskan panjang lebar tentang hikmah kecintaan pada Nabi Muhammad SAW. melalui acara maulid. Menurutnya, keteladanan Rasulullah menjadi nilai tersendiri dalam konteks memperingati kelahirannya. Namun yang lebih penting adalah, sejauh mana nilai-nilai kemanusiaan dan keteladanan tersebut dapat diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan ini mendorong kita untuk melakukan refleksi diri atas realitas kehidupan umat Islam yang semakin bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai mana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. itu sendiri.

Gus Dur menambahkan bahwa perlu kiranya, secara seksama untuk menumbuhkan dan memaknai kembali nilai-nilai keutamaan dan keteladanan Rasulullah SAW. dalam konteks kehidupan kita hari ini dan disini, khususnya yang sesuai dengan realitas kehidupan keberagamaan dan kebangsaan yang tengah dilanda multikrisis ini.
Diutusnya Rasulullah SAW. ke muka bumi ini menurut Gus Dur, tidak lain dan tidak bukan hanyalah memberi suri tauladan kepada umat manusia pada umumnya. Bahkan Allah SWT. menegaskan dalam firman-Nya: "sungguh telah ada pada (diri) Rasul itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah".
Penegasan ayat ini, secara tersirat telah mengharuskan bawahi tentang kehidupan Rasulullah SAW. ke muka bumi ini hanya untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang ditanamkan oleh Rasulullah akan menjadi cermin bagi umatnya yang akan datang. Akan tetapi bagi Gus Dur, menghormati dan mencintai Rasulullah SAW. tidak cukup hanya sebatas merayakan mauludan atau memperingati hari kelahirannya semata, seperti dengan membacakan sifat-sifat dan kepribadian Rasulullah. Karena, hal itu hanya akan menjadi rutinitas tahunan belaka, dan terjebak pada rutinitas dan sakralisasi dari maulid itu sendiri. Hanya disibukkan untuk mempersiapkan!n acara dan kegiatan testimoni yang dilakukan berulang-ulang setiap tahunnya, tanpa menghiraukan dan menghayati inti tujuan mengadakan acara maulud tersebut.
Sedangkan nilai kenabian yang membawa kabar gembira untuk melakukan perubahan di tingkat akar rumput tidak terkuak. Padahal, yang lebih penting dari semua itu ialah, membangkitkan kembali semangat kenabian dalam melakukan transformasi sosial, agar seluruh umat Islam mampu melakukan perubahan yang dapat diawali dari dirinya sendiri masing-masing.
Oleh karena itu, nilai kecintaan yang sejati terhadap Rasulullah SAW, adalah dengan menerjemahkan nilai-nilai kenabian dalam bentuk praktik kehidupan sehari-hari. Sebagaimana gerakan dakwah Rasulullah SAW. yang dimulai dari praktik kehidupan masyarakat sekitarnya, dan baru menyebar ke berbagai wilayah lain.

Sebagaimana upaya yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW. di Madinah dengan melakukan program persaudaraan, yaitu mempersaudarakan antara komunitas pendatang/pengungsi/imigran (Muhajirin) dengan penduduk pribumi (Anshar). Sebagai salah satu pendekatannya adalah dengan cara pernikahan, antara laki-laki Muhajirin dengan perempuan Anshar, begitu juga sebaliknya.
Dalam proses penempatan tinggalnya-pun, Rasulullah tidak menempatkan rombongan Muhajirin pada wilayah tertentu, tetapi semuanya dititipkan secara merata di pemukiman-pemukiman kelompok Anshar. Sehingga terbangun ikatan persaudaraan di antara kediaman, serta menjalin kebersamaan di tengah perbedaan.
Pendekatan seperti ini menurut Gus Dur, telah mampu menumbuhkan ikatan dan komitmen sosial lintas suku di antara mereka, yang mampu mendorong terbangunnya penyatuan masyarakat secara utuh sebagai suatu masyarakat cosmopolitan (ammah).
Pada tahap ini, terbangun pola kebersamaan antara hak dan kewajiban sesama manusia. Karena itu, secara psikologis mental superior dan inferior mulai terkikis. Dan secara sistematis dalam masyarakat ammah seperti ini, tampak adanya pembelaan dan pengakuan terhadap hak-hak keadaannya, pembelaan dan pengakuan terhadap hak-hak kelompok minoritas, yaitu kalangan perempuan dan budak pada waktu itu.
Bahkan, penyebutan terhadap nama kelompok pendatang sebagai Muhajirin, dan masyarakat Yatsrib (sekarang Madinah) sebagai Anshar, adalah bentuk dari pendekatan Rasulullah SAW. untuk menghilangkan ke-ego-an ras dan suku yang dapat menyulut konflik. Akan tetapi, dengan memberi gelar tersebut bahwa Rasulullah SAW, mampu membangun rasa persaudaraan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Sebagai pola yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, khususnya dalam menyatukan masyarakat yang heterogen menjadi masyarakat yang pluralisme, akan sangat cocok untuk melakukan pendekatan terhadap pola hidup masyarakat yang sangat plural, mulai dari ras, etnis, agama, suku, dan budaya yang sering menjadi sumbu konflik dan ketegangan.
Dalam pola pembentukan negara-bangsa telah menjadi semangat untuk bisa dijadikan pelajaran dalam membangun tata kehidupan yang menjunjung tinggi hak-hak dasar warganya, sebagai kasus Poso, Ambon, Ahmadiyah, aliran kepercayaan, Sampit, Negara Islam, terorisme, dan sebagainya.
Pandangan tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa Rasulullah SAW. ingin mengajarkan jauh lebih penting arti nilai-nilai ketakwaan, ketauhidan, keadilan, kemanusiaan, dan pernikahan terhadap lain mustadl'afun (kaum lemah). Karena nilai tersebut dapat dimaknai dalam konteks kehidupan sosial yang lebih nyata (hablun minang nas). Sehingga ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin (menyayangi seluruh alam semesta) akan me:kunjung tinggi tentang persoalan hubungan antara manusia. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW. diutus oleh Allah SWT. ke muka bumi ini adalah sebagai penyampaian wahyu dan pembawa pesan kenabian sebagai cerminan bagi kehidupan umat manusia yang lebih manusiawi.

Gus Dur menambahkan bahwa perayaan maulid Nabi yang diselenggarakan di berbagai wilayah secara beragam menunjukkan dua hal: cinta adalah bahasa universal dan pluralitas adalah keniscayaan yang harus diterima sebagai sikap tauhid. Namun, pembahasan ini seiring berjalannya waktu semakin mendalam, karena ada sekte lain yang membid'ahkan perayaan maulid Nabi. Mereka memperdebatkan bahwa peringatan maulid Nabi, termasuk membaca barzanji, diba' dan kasidah Burdah adalah sikap berlebihan kepada Nabi. Menurut mereka (kaum Salafiyah atau Wahabiyah), mengangkat derajat Nabi melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah SWT. dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau dan bersumpah atas nama beliau merupakan sikap yang sangat dibencinya. Bahkan termasuk perbuatan syirik. Karena, menurut mereka, memuja Rasulullah SAW. dengan cara seperti itu sama halnya menduakan Allah SWT.

Menanggapi hal tersebut, Gus Dur selalu berkomentar, "boleh saja berbeda pendapat. Perbedaan pendapat itu rahmat, selama disampaikan dengan santun dan argumentatif." Kekuatan logika harus dikedepankan, bukan mengedepankan logika kekuatan. Memang kasus seperti ini merupakan bagian dari kasus far'iyah (cabang) dan tidak ditemukan dalil yang menyerukan atau bahkan melarangnya. Ini bagian dari ranah dzanniyat (hal spekulatif). Pemikirannya bisa juga benar dan bisa juga salah. Oleh karenanya, sikap toleransilah yang hanya bisa mereda perbedaan pendapat seperti itu, sehingga tidak menyulut konflik antara umat Islam.

disadur dari: Ajaran Sang Wali, Pemikiran Gus Dur Dari Tasawuf

Rabu, 13 Juli 2016

Gus Dur : Bagaimana Membaca NU? (Oleh : Ananto Pratikno)

Bagaimana Membaca NU?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

SEJAK kemerdekaan kita, perdebatan masalah-masalah kemasyarakatan kita senantiasa didominasi oleh pertukarpikiran antara kaum elitis melawan kaum populis. Memang ada suara-suara tentang Islam, seperti yang dikembangkan oleh Bung Karno dan lain-lain, tapi semua itu hanyalah meramaikan situasi yang tidak menjadi isu utama. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana selanjutnya Indonesia harus dibangun –yang, dalam "bahasa agung" disebut "mengisi kemerdekaan". Kalangan elitis, selalu menggunakan rasio/akal dan argumentasi mereka senantiasa bernada monopoli kebenaran. Mereka merasa sebagai yang paling tahu, rakyat hanyalah orang kebanyakan yang tidak mengerti persoalan sebenarnya. Kalau rakyat mengikuti pendapat kaum elitis ini, tentu mereka akan pandai pada "waktunya kelak". Sebaliknya, kaum populis senantiasa mengulangi semangat kebangsaan yang dibawakan para pemimpin, seperti Bung Karno, selalu mempertentangkan pendekatan empirik dengan "perjuangan ideologis".

Tentu saja, cara berdialog semacam ini tidak memperhitungkan bagaimana kaum Muslim tradisionalis –seperti warga NU (Nahdlatul Ulama)-, menyusun pendapat dan pandangan dan mendasarkan hal itu pada asumsi yang tidak dimengerti, baik yang oleh golongan elitis maupun oleh golongan populis. Demikianlah, dengan alasan-alasan keagamaan yang mereka susun sendiri, kaum Muslimin yang hadir dalam Muktamar NU di Banjarmasin (Borneo Selatan) tahun1935 memutuskan kawasan ini tidak
memerlukan Negara Islam. Keputusan Muktamar NU ini menjadi dasar, mengapa kemudian para pemimpin berbagai gerakan di negeri ini mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Jadilah negeri kita sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini. Dan, kelihatannya tidak akan berubah seterusnya.

Pada tanggal 22 Oktober 1945, PBNU (hoofdbestuur NU), yang waktu itu berkedudukan di Surabaya mengeluarkan Resolusi Jihad, berisikan untuk mempertahankan dan memperjuangkan Republik Indonesia (RI) adalah kewajiban agama atau disebut sebagai jihad, walaupun NKRI bukanlah sebuah Negara Islam atau lebih tepatnya sebuah negara agama. Di sini tampak, bahwa kaum muslimin tradisional dalam dua hal ini mengembangkan jalan pikiran sendiri, yang tidak turut serta dalam perdebatan antara kaum elitis dan populis. Namun, mereka tidak menguasai media khalayak (massa) dalam perdebatan di kalangan ilmuwan. Karena itulah, mereka dianggap tidak menyumbangkan sesuatu kepada debat publik tentang dasar-dasar negara kita.

*****

Dalam sebuah harian (Kompas, Senin 8/9/2003), seorang sejarawan membantah tulisan penulis yang mengatakan Sekarmadji M. Kartosoewirjo adalah asisten/staf ahli Jenderal Besar Soedirman di bidang militer. Dengan keahliannya sebagai politisi bukankah lebih tepat kalau ia menjadi staf ahli beliau di bidang sosial-politik? Pengamat tersebut lupa bahwa asisten/staf ahli beliau saat itu dijabat oleh ayahanda penulis sendiri, KH. A. Wahid Hasjim, dan Kartosoewirjo sendiri memang berpangkat tentara/militer sebagai akibat dari integrasi Hizbullah ke dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Jenderal Besar Soedirman sendiri juga tidak pernah menjabat pangkat militer apa pun sebelum bala tentara Jepang datang kemari dan menduduki kawasan yang kemudian disebut sebagai NKRI. Dari penjelasan di atas menjadi nyata bagi kita, bahwa layak-layak saja S.M. Kartosoewirjo menjadi asisten/staf ahli Panglima APRI di bidang militer. Bahwa ia kemudian mempergunakan DI/TII sebagai alat pemberontakan, adalah sesuatu yang lain sama sekali. Dan sang sejarawan lupa bahwa penulusuran sejarah tidak hanya harus didapat dalam sumber-sumber tertulis, tapi juga sumber-sumber lisan.

Dari kasus NII dapat kita lihat, bahwa di masa lampau -pejabat-pejabat negara- juga ada yang membaca secara salah hal-hal yang ada di luar diri mereka dengan cara berpikir yang lain dari ketentuan dan kesepakatan berdirinya negara kita. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan cara memandang persoalan, apalagi yang berkenaan dengan ambisi politik pribadi atau karena pertimbangan-pertimbangan lain.

Dalam hal ini, yang paling mencolok adalah jalan pikiran NU yang tidak memandang perlu adanya Negara Islam. Kalau ditinjau dari adanya peristiwa itu sendiri, jelas bahwa perbedaan pemahaman itu timbul dari cara berpikir keagamaan yang kita lakukan. Bagi NU, hukum agama timbul dari sumber-sumber tertulis otentik (adillah naqliyyah) yang diproyeksikan terhadap kebutuhan aktual masyarakat. Sedangkan gerakan-gerakan Islam lainnya langsung mengambil hukum tertulis itu dalam bentuk awal, yaitu berpegang secara letterlijk (harfiyah) dan tentu saja tidak akan sama hasilnya. Bahkan,di antara para ulama NU sendiri sering terjadi perbedaan paham, karena anutan dalil masing-masing saling berbeda. Sebagai contoh dapat digambarkan bahwa hampir seluruh ulama NU menggunakan ru'yah (penglihatan bulan) untuk menetapkan permulaan hari Idul Fitri.

Tetapi, alm. KH Thuraikhan dari Kudus justru menggunakan hisab (perhitungan sesuai almanak) untuk hal yang sama. Sedangkan di antara para ahli ru'yah sendiri, terdapat perbedaan paham. Seperti antara alm. KH M. Hasjim Asj'ari –Ra'is Akbar NU dengan KH M. Bisri Sjansuri, -wakil Khatib 'Aam/wakil sekretaris Syuriyah PBNU-, yang bersama-sama melakukan ru'yah di Bukit Tunggorono, Jombang namun ternyata yang satu melihat dan yang lain tidak. Hasilnya, yang seorang menyatakan hari raya Idul Fitri keesokan harinya, sedangkan yang lain menyatakan hari berikutnya. Jadi, walaupun sama-sama mengikuti jalan pikiran ushul-fiqh (teori hukum Islam), namun dapat mencapai hasil yang saling berbeda. Karena Perbedaan pendapat memang diperkenankan dalam pandangan fiqh, yang tidak diperkenankan adalah terpecah-belah. Ayat Al Quran jelas dalam hal ini; "Berpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah" (Wa'tashimu bi Habli Allahi Jami'an wa la Tafarraqu).

*****

Nah, dalam soal-soal bertaraf kebangsaan dan kenegaraan, -seperti penetapan orientasi bangsa,- jelas bahwa kita harus menerima perbedaan pandangan, karena semuanya di dasarkan oleh argumentasi masing-masing. Karena itu ketika ada pendirian berbeda antara pihak seperti NU dengan kaum muslimin lainnya, maka kata akhirnya bukanlah dari pihak yang mengemudikan negara (pemerintah), melainkan hasil pemilihan umum yang menjadi acuan. Kalau ini tidak dipahami dengan baik, tentu akan ada
usulan-usulan yang ditolak atau ditunda oleh partai-partai, para aktifis, para wakil organisasi Islam di satu pihak dengan elemen bangsa lain yang tidak secara resmi mendukung atau menolak gagasan kenegaraan yang diajukan. Inilah yang senantiasa harus kita ingat setiap kali membahas "kesempitan pandangan" dari beberapa agama yang besar, seperti serunya perbedaan antara pihak yang mengharuskan dengan pihak yang tidak pernah melihat pentingnya "keterwakilan rakyat". Karena Partai Kebangkitan Bangsa –yang memiliki ikatan historis dengan NU- bukanlah sebuah partai Islam, maka tidak perlu terlalu mementingkan ajaran formal Islam dalam setiap pengambilan keputusan.

Cukuplah kalau lembaga yang menetapkan Undang-Undang (UU) itu bergerak mengikuti prosedur kelembagaan yang ditopang oleh UU, pakar hokum agama dan segenap pemikiran masyarakat. Pendapat para pakar hokum agama ini menjadi pertimbangan pembuatan hukum bukan pelaksanaannya.

Di sinilah diperlukan kearifan dunia hukum nasional kita, untuk juga memperhitungkan pendapat yang dilontarkan masyarakat dan berasal dari para pakar hukum agama. Dengan demikian, kita sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan pandangan kaum Muslimin Sunni tradisional dalam kehidupan bangsa kita. Dalam hal-hal yang sifatnya fundamental bagi kehidupan agama di negeri kita, jelas hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama tidak dapat ditolerir, umpamanya saja, mengenai keyakinan akan ke-Esaan Tuhan (tauhid). Hal-hal semacam ini tidak dapat dibiarkan dan harus diperjuangkan sehabis daya oleh kaum Muslimin sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang tidak bersifat fundamental bagi keyakinan agama seseorang, tentu saja masih diperlukan telaah lebih jauh dan dapat ditolerir perubahan-perubahannya. Bukankah Al Quran sendiri yang justru menyatakan "dan Ku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal ". Dari hal ini dapat diharapkan, di masa depan produk-produk hukum kita akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pengetahuan kita.

Jakarta, 22 September 2003

Gus Dur: Islam dan Hak Asasi Manusia (Oleh :Ananto Pratikno)

Islam dan Hak Asasi Manusia
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Tulisan-­tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri­negeri muslim­lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktik kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al­Maududi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan­tindakan manusia? Al­Maududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemudian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah me­menangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan­tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang­orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?

***

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan al­Maududi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabad­abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan­Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah­ubah maka hilanglah ke­Islaman kita.

Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan alHadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktik­praktik perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok­kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktik semacam itu akan hilang dengan sendirinya.

Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu rabbika)” (QS al­Rahman [55]: 26­27) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab­sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip­prinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat­obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup? []

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).

Terorisme Harus Dilawan Oleh: KH. Abdurrahman Wahid (Ditulis kembali oleh : Ananto Pratikno)

Terorisme Harus Dilawan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan di Denpasar, Bali lebih dari 180 orang menjadi korban termasuk sangat banyak orang yang mati seketika. Jelas ini adalah sebuah bagian mengerikan dari tindakan teror yang selama belasan bulan ini mengetarkan perasaan kita sebagai warga masyarakat. Penulis berkali-kali minta agar pihak keamanan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk mengambil langkah-langkah preventif, antara lain menahan orang-orang yang keluyuran di negeri kita membawa senjata tajam, membuat bom-bom rakitan, memproduksi senjata-senjata yang banyak ragamnya.

Namun pihak keamanan merasa tidak punya bukti-bukti legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang kita hadapi. Kita masih menganut kebijakan-kebijakan "punitif" dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan "preventif", kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak di lakukan penangkapan, ini jelas keliru. Hal itu menyebabkan hilangnya rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat melakukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang dilakukan orang.  Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik kita, karena banyak sekali pelanggaran politik dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah.

Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap hal-hal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan sehari-hari di masyarakat. Apabila tindakan hukum diambil oleh aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk "Menetralisir" tindakan itu. Kasus Batalyon Linud (Lintas Udara) angkatan Darat di Binjai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh, mereka melakukan tindakan "netralisasi" terhadap langkah-langkah hukum, karena para anggota Batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para perwira AD dan Polri melakukan dukungan (backing) bagi kelompok-kelompok pelaksana perjudian dan pengedar narkoba, tanpa ada tindakan hukum apapun terhadap orang-orang itu.

Masalah yang timbul kemudian, adalah bagaimana mencegah kelompok-kelompok lain untuk mempersiapkan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga Asing. Sikap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehingga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap kelompok-kelompok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan yang bersih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan tindakan preventif.  Karena itu akan berarti kemungkinan berhadapan dengan atasan atau teman sejawat sendiri. Dalam hal ini berlakulah pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Inilah apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diherankan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.

Salah satu tanda dari "paralyse" (kelumpuhan) tadi, adalah hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan pihak-pihak teroris dan preman sendiri. Seolah-olah mereka mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat, karena kemanapun menutupi ke-premanan mereka. Bahkan ada benggol preman yang berpidato di depan agamawan, seolah-olah dia lepas dari hukum-hukum sebab-akibat. Herankah kita jika orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan preventif ? Padahal hakikat tindakan moral adalah mencegah dilakukannya langkah-langkah melanggar hukum,  dengan terciptanya rasa malu pada diri calon-calon pelanggar kedaulatan hukum.

Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau teroris, herankah kita jika ada pihak keamanan yang justru takut melawan mereka? bukanya melawan mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya menerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolah-olah pahlawan? Bukan kah ini berarti pelecehan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat kita, kesalahan sikap ini ditutup-tutupi pula oleh anggapan bahwa Amarika Serikat-lah yang bersekongkol dengan TNI untuk menimbulkan hal-hal di atas guna melaksanakan"rencana jahat dari CIA (Central Inteligence Agency)? "Teori" ini harus diselidiki secara mendalam, namun masing-masing pihak tidak perlu menunggu.  Inilah prinsip yang harus dilakukan, tidak perlu harus menunggu hasil penelitian.

Memang harus setelah bertahun-tahun, hal semacam ini baru dapat diketahui sebagai kebijakan baru dibidang keamanan, guna memungkinkan tercapainya ketenangan yang benar-benar tangguh?. Sudah tentu, sebuah kebijakan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang ada, dalam hal ini keperluan akan tindakan-tindakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu.  Karenanya tindakan preventif  harus diutamakan, guna menghindarkan vakum kekuasaan keamanan terlalu lama. Kebutuhan itu megharuskan kita segera mencapai kesepakatan,  mengatasi kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat berakibat semakin beraninya pihak-pihak yang melakukan destabilisasi di negeri kita.

Untuk itu di perlukan beberapa tindakan di lakukan secara simultan (bersama-sama). Pertama, harus dilakukan upaya nyata untuk menghentikan KKN oleh birokrasi negara dengan adanya KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas secara adil, jujur dan sesuai dengan undang-undang yang ada begitu juga, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undang-undang tidak akan dapat terlaksana jika KKN masih ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkungan sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegak demokrasi di negeri kita.

Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada. Kita tidak dapat membuat istana di awang-awang, melainkan atas kenyataan yang ada di bumi Indoesia karena itulah, dalam sebuah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto penulis mengatakan bahwa kita harus siap untuk memanfatkan para konglomerat yang tidak mengembalikan pinjaman mereka Bank-bank pemerintah, dalam masalah perdata asalkan uang hasil pinjaman itu di konfrensikan menjadi kredit murah bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Soal-soal pidana menjadi tanggung jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik oleh pihak eksekutif maupun legeslatif, resep ini memang terasa terlalu sumir dan elitis, tetapi memberikan harapan cukup untuk tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan kembali ekonomi nasional kita. Sebagai usulan, ia merupakan sesuatu yang menarik, bukan?

Ditulis kembali oleh : Ananto Pratikno
Diambil dari : http://harian-oftheday.blogspot.co.id/search/label/Gus%20Dur

Gus Dur dan Kepiawaian Menulisnya (Oleh :Ananta Pratikno)

Gus Dur dan Kepiawaian Menulisnya

Beberapa lama setelah berada di kampung halamannya, Tebuireng, Jombang di tahun-tahun 1972-1974, selain mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai menekuni kembali bakat menulisnya dan menjadi kolomnis di berbagi media massa nasional. Pada kurun ini tulisannya kerap bermunculan di berbagai media massa mulai dari majalah nasional umum seperti Tempo hingga majalah islami seperti Panji Masyarakat yang didirikan oleh Buya Hamka.

Selain memiliki kelebihan-kelebihan lainnya yang sudah jamak diketahui publik, salah satu dari kemampuan lainnya Gus Dur yang menonjol bahkan sedari kanak-kanak adalah menulis. Di majalah Tempo sejak tahun 1970-an sampai 1980-an, ia kerap datang sendiri untuk menulis kolomnya. Begitu produktifnya hingga tulisan yang satu belum dimuat, sudah ada lagi tulisan yang lain. Produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Muhammad, pemimpin redaksi Tempo waktu itu mengambil inisiatif untuk menyediakan satu meja khusus plus mesin ketik untuknya. Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Menurut pengakuannya dalam suatu wawancara di televisi, itu dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga.
Dalam menulis Gus Dur mempunyai banyak ide. Hal-hal yang bagi orang lain dipandang sepele dan remeh temeh, dibuatnya menjadi penting. Keluasan wilayah pemikirannya mengagumkan banyak orang dan sulit untuk diimbangi. Dibanding dengan cendekiawan atau penulis lain, spektrum perhatian Gus Dur masih jauh lebih luas. Tulisannya tidak hanya masalah-masalah agama dan sosial politik, melainkan juga budaya, sejarah, pertanian, musik, sampai sepakbola nasional dan internasional.

Ketika menulis, Gus Dur kerap berangkat dari asumsi dan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya. Karena Gus Dur secara umum dikenal mempunyai analisa yang banyak tepatnya, maka tak heran ia pernah diminta oleh harian terkemuka di ibu kota untuk menganalisis pertandingan-pertandingan sepakbola dalam suatu ajang piala dunia.
Menurut kesaksian salah satu saudara kandungnya, Salahuddin Wahid, Gus Dur memang mempunyai kemampuan menulis yang dimiliki sejak kecil. Kemampuan menulis Gus Dur tergolong luar biasa. Sewaktu SD, dia telah memenangkan lomba menulis se-Jakarta. Bahkan ketika tidak dapat menulis sendiri, Gus Dur mendiktekan apa yang ingin ditulisnya. Meskipun hanya didektekan, tetapi hasilnya tetap merupakan sebuah tulisan yang bermutu dengan tata bahasa dan sistematika yang bagus. Di tangan Gus Dur, segala sesuatu dapat dijadikan sebagai obyek tulisannya.
Pada saat Gus Dur dioperasi sekitar tahun 1993, ia diminta untuk membuat kata pengantar sebuah buku berbahasa Inggris. Buku itu dibacakan oleh salah seorang putrinya. Ternyata dengan mudah saja Gus Dur dapat membuat kata pengantar dengan mendiktekannya. Hal itu lantaran Gus Dur pandai menarik benang merah atau hal-hal pokok dari sebuah buku meski cuma dibacakan oleh orang lain.
Kemahiran menulis yang dimiliki Gus Dur sebagaimana di atas tentu saja banyak faktor pendukungnya. Di samping peran luasnya pergaulan, banyaknya pengalaman dan aspek bakat, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah karena faktor budaya bacanya yang tinggi yang telah tertanam sejak dari kecil.

Sejak kecil saat masih tinggal di rumahnya di Matraman, oleh ayahnya memang Gus Dur dan saudara-saudaranya telah dididik dan diarahkan agar mereka gemar membaca buku. Untuk putra-putrinya, KH Wahid Hasyim menyediakan buku-buku di rumah tersebut dengan sangat beragam topik dan temanya, tidak hanya tentang keislaman. Selain buku, disediakan pula olehnya di samping media-media Islam, juga terdapat media massa Katolik dan terbitan non-Muslim lainnya. Gus Dur dan adik-adiknya melalui bejibun bahan bacaan tersebut dirangsang untuk membaca apa saja yang mereka sukai.

Disarikan dari:
1. Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim, Penerbit: Yayasan KH. A. Wahid Hasyim, Jakarta, 2007.
2. Majalah Tebuireng, edisi 09, Januari-Maret, 2010
M. Haromain, Warga NU bergiat di Forum Santri Temanggung

Senin, 11 Juli 2016

Isyaroh Gus Dur Sebelum Pengeboman Kedutaan Australia (Oleh : Ayah Debay)

Isyaroh Gus Dur Sebelum Pengeboman Kedutaan Australia

Aksi terorisme di Indonesia dengan jumlah korban meninggal sangat besar marak terjadi pada awal 2000-an, salah satu yang menjadi sasaran adalah kedutaan Australia di kawasan Kuningan Jakarta.
Pagi itu, pada hari terjadinya pengeboman, aktifitas Jakarta berjalan sebagaimana biasanya, panas, macet dan kesibukan jutaan manusia di dalamnya. Tak ada yang menduga ada peristiwa mengerikan bakal segera terjadi.

Gus Dur berada di bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta, sedang menunggu boarding menuju Yogyakarta bersama Imam Mudakkir, salah seorang teman lamanya. Asyiklah mereka berdua mengobrol di ruang tunggu. Ditengah-tengah obrolan itu, Gus Dur tiba-tiba terdiam, lalu berujar.

“Kang, kayaknya ini mau ada peristiwa luar biasa”
“Apa itu Gus,” kata Imam dengan mimik penasaran.
“Ya, ngak tahu, namanya juga isyaroh”
“Apa ya?” lanjut Imam penuh tanya.
“Kita tunggu saja,” kata Gus Dur menutup pembicaraan tentang hal itu dan melanjutkan obrolan sebelumnya yang disela.

Lalu, terbanglah mereka berdua menuju kota budaya ini. Sesuai dengan aturan penerbangan, seluruh alat komunikasi berupa HP harus dimatikan selama penerbangan. Pertanyaan tentang kejadian besar hanya disimpan dalam hati. Akhirnya setelah melewati perjalanan selama sekitar 1 jam, sampailah mereka di Yogyakarta dengan selamat. Begitu turun dari pesawat, mereka segera menyalahan HP. Manusia zaman modern tampaknya sudah tak bisa lepas dari HP sehingga dalam keadaan apapun, berusaha terhubung dengan yang lain. Benar saja, baru saja dihidupkan, HP Imam berdering, dilihat nomor penelepon ternyata dari istrinya di Jakarta. Segera saja dijawabnya panggilan tersebut. Ia mendengar suara istrinya dengan nada panik dari saluran seberang.

“Pak, ini kedutaan Australia baru saja di bom. Kaca-kaca rumah kita di lantai 2 pada pecah semua”
“Bagaimana, apa semua yang ada di rumah selamat?” ujar Imam terkejut. Rumahnya memang berada di lokasi tak jauh di belakang kedutaan Australia.
“Alhamdulillah, yang di rumah tidak ada yang terluka, tapi ngak tahu yang di lokasi kejadian”
Imam pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada Gus Dur. Ia disarankan untuk segera pulang.
“Sudah, kamu pulang saja, dengan penerbangan tercepat, urus keluarga di rumah. Saya biar melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencana semula,“ kata Gus Dur.
“Ya, makasih Gus”
Akhirnya mereka berpisah, Gus Dur pergi bersama penjemput yang sudah menunggu sedangkan Imam menuju counter penjualan tiket menuju Jakarta.

Ini Dia Rahasia Wirid Gus Dur di Masjidil Haram (Oleh : Ayah Debay)

Ini Dia Rahasia Wirid Gus Dur di Masjidil Haram
Bagi para aktivis di masa Orde Baru, Presiden Soeharto dianggap sebagai penguasa yang harus segera digulingkan. Masing-masing dalam posisi berhadapan.
Kalau ada aktivis yang mau bertemu dengan Soeharto, ia segera dihujat karena dianggap telah mau diajak bekerjasama. Kalangan NU yang dipimpin Gus Dur juga menjaga sikap yang sama, apalagi NU termasuk kelompok yang “teraniaya” sehingga wajar jika bersikap demikian.
Suatu ketika Pak Harto sakit. Keluarga, kerabat, sahabat dan para pejabatnya pun berbondong-bondong menengoknya. Para aktivis tetap menjaga jarak.
H Ahmad Bagdja, sekjen PBNU era kepemimpinan Gus Dur menyarankan kepadanya untuk segera menjenguk Presiden.

“Meskipun bertentangan, tapi ya pantes-pantesnya Gus Dur datang. Kalau Gus Dur yang datang, ngak ada yang nyalah-nyalahin,” katanya.
Awalnya Gus Dur menolak datang. Salah satu saudara lelaki Gus Dur juga sampai meneleponnya agar kakaknya tersebut tidak bertemu dengan penguasa Orde Baru ini.
Beberapa hari kemudian, ketika sedang di Medan, ia membaca koran yang menginformasikan pertemuan antara Gus Dur dan Pak Harto.
Segera saja sesampai di Jakarta, ia bertanya kepada Gus Dur mengapa jadi ketemu dengan Soeharto, tapi jawaban Gus Dur enteng saja.
“Ente kan belum pernah wirid 10.000 di Masjidil Haram,” katanya singkat.
“Saya ngak tanya apa yang diamalkan, keburu banyak orang datang. Sampai beliau wafat pun saya ngak pernah tanya,” tandas Bagdja.

Dalam tradisi NU, terdapat berbagai jenis wirid dan amalan, yang jika dibaca dalam jumlah tertentu dan pada waktu tertentu, dapat menimbulkan fadhilah sesuai yang dimaksudkan dalam doa-doa tersebut.Sayangnya, hingga sekarang, wirid ini masih menjadi rahasia, apa bacaannya, dan apa fadhilahnya. Entah jika Gus Dur mengijazahkan kepada seseorang untuk terus mengamalkannya.

Minggu, 10 Juli 2016

Pengorbanan Gus Dur Untuk Bumi Pertiwi (Oleh : Ayah Debay)

SATU HATI SATU CINTA GUS DUR

Disamping presiden yang hebat, terdapat ibu negara yang hebat pula. Bung Karno berada di kekuatan puncaknya saat beristri Ibu Inggit Garnasih. Sebaliknya, ketika beristri seorang geisha asli Jepang, Bung Karno menjadi lupa diri dan mudah sekali marah.
Pak Harto pun demikian. Pak Harto mulai terlihat sangat “kasar” dalam upaya-upaya mempertahankan kekuasaan, ketika Ibu Tien sudah meninggal. Bagi kalangan yang tidak paham ilmu psikologi, biasanya hanya akan mengkaitkan lengsernya Pak Harto dengan peristiwa meninggalnya Ibu Tien dari kacamata mistik, misalnya tusuk konde.
Terkait dunia spiritual mempengaruhi dunia kasat mata, ada teman yang berkelakar, “Saya baru percaya hal-hal seperti itu, kalau ada gelandangan kolong jembatan bisa menikahi artis Dian Sastro Wardoyo, hanya berbekal ilmu pelet!”
Istri itu luar biasa penting bagi seorang laki-laki. Sehebat-hebatnya Bung Karno dan sedingin-dinginnya Pak Harto, pengaruh istri tetaplah sangat signifikan. Tak terkecuali bagi Gus Dur.
***

Bagi Gus Dur, Ibu Shinta adalah segalanya. Yang terkasih, yang tersayang, dan yang tercinta… Shinta Nuriyah adalah kesejatian bagi seorang Abdurrahman Wahid. Satu-satunya wanita sejati di dalam hati beliau.
Secara kuantitas, Gus Dur kalah jauh dari Bung Karno dan Pak Harto. Gus Dur tidak sampai 2 tahun menjabat. Tapi, secara kualitas, Gus Dur melebihi keduanya, bahkan seluruh presiden di dunia. Tidak ada presiden yang dilengserkan di tengah jalan tanpa menimbulkan korban jiwa, selain Gus Dur.
Satu kematian pun tidak. Tidak ada rakyat yang tewas saat Gus Dur dijatuhkan secara paksa. Silakan Anda sekalian cek sendiri buku-buku sejarah dunia. Tidak ada presiden manapun di dunia ini yang dijatuhkan di tengah jalan tanpa ada pertumpahan darah, kecuali beliau.
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian,” kata Gus Dur pada waktu itu. Gus Dur berbuat demikian, karena beliau mencintai Indonesia. Pasalnya, pada suasana genting tersebut, lebih dari dua juta pasukan santri siap membumi-hanguskan Ibokota Jakarta.
Seperti kesaksian Gus Mus, di tiap-tiap kantong NU, ada puluhan ribu santri siap membela Gus Dur. Padahal, seperti kita tahu kantong NU bukan hanya Jawa Timur, dan itu artinya Ibukota Jakarta mustahil bisa bertahan. Harap diingat satu-satunya daerah yang tidak bisa dihancurkan koalisi tentara Sekutu zaman dahulu adalah kota Surabaya.
Lantas, apa hubungannya? Kota Surabaya menjadi satu-satunya daerah yang tidak bisa dikuasai koalisi militer negara-negara pemenang Perang Dunia II adalah karena kota itu dilindungi laskar santri NU. Mbah Hasyim Asy’ari (kakeknya Gus Dur) sendiri yang turun tangan. Maka dari itu, meski digempur berminggu-minggu, kota Surabaya tidak pernah menyatakan “menyerah” ke pihak Sekutu.
Berbeda dengan kekuatan Jakarta. Digempur beberapa hari saja, Jakarta sudah jatuh. Hingga membuat Bung Karno dan Bung Hatta mengungsi ke Yogyakarta, pagi-pagi buta naik kereta api. Bisa dibayangkan bila Gus Dur mengizinkan para santri menyerbu Jakarta?
Inggris bisa dilinggis, Amerika bisa disetrika, apalagi cuma untuk menguasai Ibukota Jakarta. Mudah sekali bagi Gus Dur untuk mempertahankan diri. Tapi, bagi beliau, bangsa Indonesia lebih penting daripada kursi kepresidenan. Ada keluarga yang menanti para tentara Indonesia pulang kerja.
Beliau tidak tega ribuan keluarga nantinya menangis kehilangan hanya karena urusan politik. Mbah Yai Abdurrahman Wahid masih memikirkan keluarga para tentara, meski moncong tank-tank militer Indonesia mengarah ke istana kepresidenan. Mbah Yai Abdurrahman Wahid juga tidak rela jutaan santri sampai meninggal hanya karena dirinya. Janganlah kita tanya sebesar apa cinta beliau pada NU.

Gus Dur memilih lebih baik hancur sendirian daripada harus melihat perang saudara. Jangankan melihat para santrinya gugur, melihat para tentara yang mengepungnya terluka saja tidak tega. Semua bagi Gus Dur adalah sama; rakyat.
Karena beliau adalah presiden rakyat, beliaupun rela “mempermalukan” dirinya sendiri demi rakyat. Sengaja pakai baju tidur dan celana pendek, beliau keluar dari istana. Menyapa para pendukungnya. Suasana yang sudah sangat panas mendadak cair. Semua santri dan tentara yang sudah saling berhadapan siap perang mendadak tertawa bersama.
Sebuah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang presiden yang mementingkan pencitraan. Meski disaksikan banyak orang dan diliput media massa dari seluruh dunia, Gus Dur tidak peduli.
***
Dulu Pak Harto memang menang perang tanding atas Bung Karno, tapi efeknya ada jutaan rakyat Indonesia tewas terbunuh. Semua presiden lain di seluruh dunia yang lengser di tengah jalan pun demikian. Pasti di atas banjir darah.
Tetapi, fenomena itu pernah tidak terjadi satu kali, dan hanya terjadi di Indonesia. Gus Dur pilih mengalah, agar tidak ada satu pun rakyat Indonesia yang tewas. Diiringi shalawatan dan istri tercinta, Sultan Abdurrahman Wahid rela diusir dari istananya sendiri.
Ciri-ciri seorang ksatria sejati adalah tidak mau menang jikalau kemenangan perang tersebut bisa berakibat kehancuran-kehancuran. KH. Abdurrahman Wahid adalah orang yang agung. Seorang zahid. Dunia tidak dicintainya, apalagi sampai dikejar-kejar.
Para pembaca sekalian, kondisi Indonesia sehancur sekarang adalah karena banyak sekali orang sangat keduniawian. Uang tidak dimasukkan ke dompet, tapi dimasukkan ke hati. Uang tidak terletak di genggaman tangan, tapi ditaruh di atas kepala.
Uang tidak dijadikan alat mempertahankan hidup, tapi sudah dijadikan tujuan hidup dan kehormatan diri. Banyak orang ingin jadi seorang pemimpin adalah karena ingin menumpuk kekayaan lebih banyak. Dengan menjadi seorang pejabat, diharapkan bisnis perusahaannya semakin berkembang. Hal itulah alasan kenapa Indonesia tidak kunjung membaik.
Satu-satunya hal di dunia ini yang pernah dikejar Gus Dur adalah Ibu Shinta Nuriyah. Meski jalan cinta tersebut berat, Gus Dur tidak gentar. Beliau tetap berjuang. Hingga sepucuk surat dari Ibu Shinta berisi balasan cinta tiba.
Pernah suatu ketika Gus Dur muda akan dijodohkan oleh seorang kiyai yang dihormatinya dengan santriwati lain, beliau pilih melarikan diri. Pura-pura pamit ke dapur, lalu memanjat jendela, dan melompat keluar. Sebab hati beliau ada satu, dan hanya untuk mencintai Ibu Shinta. Sebab jantung beliau ada satu, dan hanya bisa ditulisi sebuah nama; Shinta Nuriyah.
Di samping presiden yang hebat, ada ibu negara yang hebat pula. Sangat wajar Gus Dur mampu mengungguli semua presiden di dunia ini, karena disamping beliau ada sesosok wanita keibuan yang memiliki ketulusan hati.

Dibalik Hubungan Kiai As'ad dan Gus Dur (Oleh : Ayah Debay)

Ini Rahasia di Balik Mufaraqah Kiai As’ad dari Gus Dur

“Ibarat imam shalat, Gus Dur sudah batal kentut. Karena itu tak perlu lagi bermakmum kepadanya.” Beginilah salah satu ungkapan sikap KHR As’ad Syamsul Arifin, sebagaimana dikutip media nasional beberapa hari pasca Muktamar NU ke-28 di Krapyak, 26 tahun lalu.<> Konon, KHR As’ad kecewa besar pada lima tahun kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU. Gus Dur dianggap kebablasan. Pemikiran dan tindak-tanduk liberalnya diniliai sudah keluar dari rel Aswaja.
Dari berita yang dimuat di koran, pemikiran dan tindak-tanduk liberal yang dialamatkan pada Gus Dur antara lain terkait keikutsertaannya sebagai juri Festival Film Indonesia. KHR As’ad bahkan menyebut Gus Dur kiai ketoprak lantaran aksinya ini. Lalu terkait wacana Gus Dur mengubah salam “assalamu’alaikum” menjadi “selamat pagi”, dan beberapa kontroversi lain yang mengiringi perjalanan kepemimpinan Gus Dur.
Puncak ketidakcocokan Ketua Ahlul Halli wal Aqdi pada Muktamar NU ke-27 ini terjadi pada hari terakhir Muktamar Krapyak, Rabu siang, 29 Nopember 1989. Di hadapan media di arena Muktamar yang telah aklamasi memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo ini, lantang menyatakan diri mufaraqah (memisahkan diri).

Ketidakcocokan KHR As’ad dengan Gus Dur sebenarnya sudah lama. Keputusan mufaraqah bisa dibilang lebih merupakan kulminasi dari perselisihan panjang antarkeduanya. Perselisihan awal setidaknya sudah dimulai ketika pleno pertama PBNU hasil Muktamar Situbondo, di Pesantren Tebuireng, Jombang pada Januari 1985. Keputusan pleno menyatakan bahwa yang berhak mewakili NU keluar adalah Rais ‘Aam KH Ahmad Shiddiq, dan Ketua Umum Tanfidziyah KH Abdurrahman Wahid. Keputusan ini dinilai membatasi gerak dan langkah ulama sepuh lain, terutama KHR As'ad yang sebelumnya dikenal dekat dengan Presiden Soeharto dan menteri-menterinya.
Beberapa kontroversi Gus Dur lainnya sepanjang 1984-1989 semisal; keterlibatan Gus Dur menjadi ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), kesediaan membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan kecenderungan membela Syi'ah, juga turut menjadi pemicu kerenggangan komunikasi antara KHR As’ad beserta kiai-kiai sepuh lain dengan Gus Dur. Hal ini berujung peristiwa ‘gugatan’ pada Gus Dur di Pesantren Darut-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, pada Maret 1989.
Sebuah fakta politik menarik, menyusul mufaraqah KHR As’ad, Gus Dur justru makin gencar melawan Orde Baru. Gus Dur makin aktif mendukung para aktivis melawan pemerintah. Menjelang pemilu 1992, di tengah kuatnya kekuasaan Soeharto, Gus Dur bahkan berani terang-terangan menolak penguasa negeri 32 tahun itu untuk dipilih kembali. Gus Dur terus menyerang Pak Harto hingga lengser ke prabon pada 1998.
Banyak literatur menyebut, KHR As’ad Syamsul Arifin adalah sosok wali quthub. Kesaksian KH Mujib Ridwan misalnya, menyebut jika KHR As’ad pernah menangis tersedu-sedu lantaran ‘kedoknya’ terbuka, usai dibacakan sebuah surat Al-Qur’an. KH Mujib Ridwan adalah putra KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, yang lebih 20 tahun mengabdi pada KH As’ad Syamsul Arifin. Di luar kharisma keulamaannya, KHR As’ad adalah seorang guru dan pengamal 17 jenis tarekat. Meskipun demikian beliau tidak pernah memaklumkan diri sebagai seorang mursyid tarekat di depan umum. KHR As’ad juga mendalami ilmu kanuragan yang membuat banyak bajingan bertekuk lutut kepadanya.
Konon, kewalian KHR As’ad inilah yang melatarbelakangi beberapa tindakannya sehingga tidak mudah dimengerti khalayak awam. Satu di antaranya menyangkut kerenggangan KHR As’ad dan Gus Dur. Kala itu tentu saja tak sedikit Nahdliyin di akar rumput yang kebingungan. Meski tak sampai menciptakan kubu-kubu yang saling berseberangan, konflik panjang dua tokoh beda generasi ini memunculkan pertanyaan di banyak pihak. Tak terkecuali rombongan Kepala Sekolah SLTP dan SLTA Ma’arif Kotamadya Surabaya. Suatu hari, pada 15 April 1987, mereka serombongan sowan ke ndalem KHR As’ad di kompleks Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.
Sesampai di ndalem, rombongan diterima langsung oleh KHR As’ad yang kala itu didampingi KH Mudjib Ridwan. Rombongan pun mendapat penjelasan langsung bahwa beliau mufaraqah dengan Gus Dur karena Gus Dur kiai ketoprak. Dengan menjadi juri FFI di Bali, Gus Dur dinilai sudah tidak sesuai dengan kakeknya KH Hasyim Asy’ari, dan penjelasan lain-lain seterusnya sebagaimana yang sudah beredar di media massa.

Dari Situbondo, rombongan meneruskan silaturahim berikutnya ke Jember ke ndalem KH Ahmad Shiddiq. Di hadapan Rais ‘Aam PBNU ini, disampaikanlah panjang lebar kebingungan-kebingungan mereka mengenai hubungan KHR As’ad dengan Gus Dur.
Dan beginilah dawuh KH Ahmad Shiddiq. “Kulo, dan sampean-sampean semua—seraya menunjuk satu persatu rombongan yang hadir—bukan levelnya. Bukan kelasnya menilai Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin.” Demikianlah yang pada intinya, Nahdliyin yang belum masuk levelnya, tidak pantas menilai sikap mufaraqah KHR As’ad dengan Gus Dur. Keduanya memiliki maqom (tingkatan spiritual) yang tinggi di atas kebanyakan.
Menyikapi friksi di tingkatan elit NU yang kian membingungkan ini, suatu ketika beberapa anggota Dewan Khas IPSNU Pagar Nusa dipimpin H. Suharbillah memutuskan sowan ke KH Khotib Umar, Pengasuh Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwiringin, Sukowono, Jember. IPSNU Pagar Nusa kebetulan saat itu baru saja dideklarasikan. KH Khotib Umar adalah salah seorang ulama pejuang yang wara’ yang sangat disegani di kalangan Nahdliyin.
Kepada para pendekar Pencak Silat NU ini, KH Khotib Umar bertutur bahwa suatu waktu beliau menghadap pada KHR As’ad Syamsul Arifin bermaksud meminta penjelasan mengenai masalah dengan Gus Dur. Dan KHR As’ad dawuh bahwa memusuhi Gus Dur merupakan strategi menghadapi rezim Orde Baru. Supaya Gus Dur tidak dihabisi maka beliau memusuhi Gus Dur. Untuk menyelamatkan beliau. “Saya dengan Gus Dur hanya berbeda dalam siyasi, politik! Mufaraqah bukan berarti benci Gus Dur. Malah saya sangat mengasihi Gus Dur. Saya khawatir kalau Gus Dur di penjara oleh penguasa—karena sikap kritisnya­—lalu siapa yang akan membela? Demikian dawuh sang wali quthub.