GUS DUR IKU ALIM ALIME WONG PALING ALIM JAMAN IKI
Sejak masih remaja, nama Gus Dur mulai akrab. Namun, pengetahuan Shuniyya hanya sebatas bahwa Gus Dur adalah cucu Hadlrotusy Syaikh Hasyim Asy'arie, pendiri NU. Dan saat itu dikenal sebagai orang yang kritis berani melawan pemerintahan Orde Baru yang dikenal otoriter. Akibatnya, banyak berita miring tentang figur Gus Dur.
Sering sekali Shuniyya dibuat kebingungan bagaimana bisa perilaku seorang Gus, keturunan darah biru "premium edition" pesantren bisa aneh dan nyleneh. Tidak pernah ada contoh seperti itu sebelumnya. Namun, Shuniyya hanya bisa diam saja. Hingga akhirnya beliau KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia.
Sebagai Presiden, tentu saja menjadi sorotan publik. Segala perilaku, gerak, apalagi statemen beliau selalu saja bisa kita ikuti dimana-mana. Melihat hal ini, lama-lama Shuniyya merasa tidak nyaman. Akhirnya, bertanya kepada guru Shuniyya, Simbah Kyai Iskandar Jogja almarhum (wafat tahun 2007).
"Mbah, Gus Dur itu kan Kyai, tapi kok perilakunya seperti itu ya, aneh tur nganeh-anehi,"
Mbah Yai Is tersenyum. Beliau menjawab, "Aslinya, Gus Dur itu tidak aneh. Kita saja yang tidak nutut ilmunya, sehingga memandang beliau aneh.... Seandainya orang seperti simbah ini ada seribu, diikat dikumpulkan jadi satu, ilmunya tidak ada sekuku hitamnya Gus Dur... Gus Dur iku alim-alime wong paling alim jaman iki,"
Shuniyya kaget setengah mati mendengar jawaban ini. Rasa malu dan kagum bercampur jadi satu. Penasaran juga, dan entah kenapa, menjadi sebuah kerinduan untuk bisa langsung bermuwajahah dengan Gus Dur. Saat itu juga, Shuniyya mohon doa dan restu dari Mbah Yai supaya bisa bertemu dengan Gus Dur dan belajar dari beliau.
Doa Mbah Yai Is dikabulkan Gusti Allah. Tahun 2001 beberapa bulan setelah beliau tidak menjadi Presiden, pada suatu acara di Jogja, Shuniyya berhasil ketemu Gus Dur. Subhanallah... Tidak ada kata yang bisa melukiskan kebahagiaan waktu itu. bertemu dengan sealim-alimnya manusia paling alim di jaman ini.
Pertemuan dengan Gus Dur menjadi lebih instensif setelah Shuniyya hijrah ke Jakarta pada bulan Mei 2005 hingga berangkatnya beliau ke rofiqul a'la pada 30 Desember 2009.
Walau sekejap pertemuan itu, namun tali rasa yang dijalin, sebagai guru, orangtua,kekasih, pecinta Gus Dur tidak akan pudar dan cerita ini akan Shuniyya turunkan kepada anak cucu.
Berangkatnya Gus Dur ke rofiqul a'la menjadi ayat dan hikmah yang luar biasa. Yakni, terjalinnya silaturahim dengan keluarga, murid dan pecinta beliau di seantero dunia... Dan semenjak itu, Shuniyya mengumumkan nama dan gelar untuk beliau adalah: Simbah Wali Kanjeng Sunan Nuswantoro Kyai Haji Abdurrahman Wahid Ad Dakhil Almaghfurlah. Atau biasa Shuniyya singkat dengan sebutan: Mbah Wali..
I Love u mbah Wali Gus Dur. Ila hadlroti ruhi simbah wali Gus Dur wa zawjatihi wadzurriyatihi wa furi'ihi wasilsilatihi syaiun lillahu lana walahum alfatihah...
Kendal, 21 Agustus 2015
Rabu, 29 Juni 2016
Sabtu, 25 Juni 2016
Firasat Gus Dur Sebelum Meninggal (Oleh :Erik Yulianto)
Firasat Gus Dur Sebelum Meninggal
Oleh : Erik Yulianto (Member Sahabat Gus Dur)
Ini kisah yang tak hanya mengesankan tapi mengharukan. Gus Mus bercerita bahwa sekitar seminggu menjelang berpulang, Gus Dur mampir ke kediamannya untuk bercengkerama seperti yang biasa dilakukannya sebelum hari itu untuk sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Tak ada sikap dan cara Gus Dur yang berubah.
Jika bertemu Gus Mus, Gus Dur akan bercerita tentang situasi bangsa dan negara, keadaan NU, keadaan para kiai, dan satu hal yang tak pernah ditinggalkan Gus Dur: membawa cerita-cerita unik, menarik, dan lucu yang membuat mereka berdua dan semua orang yang mendengar terbahak-bahak.
Pada hari itu, Gus Dur bicara tentang kawan-kawan lama saat di Kairo, Mesir. Mengenang kembali perjalanan belajar dan pengembaraannya di sana. Bercerita juga tentang teman-temannya yang kemudian menjadi orang besar di negaranya, seperti Abd. Al-Qayyum yang menjadi Presiden Maladewa.
Selain cerita di kediaman Gus Mus, Gus Dur hari itu makan banyak, Semua makanan yang dihidangkan dimakan, padahal sebelumnya sulit makan sudah 10 hari. Gus Mus pun tahu selera Gus Dur yang suka makan dengan sambal pedas.
Pertemuan yang direncanakan sebentar itu ternyata sampai sekitar dua jam. Gus Dur tampak sehat dan bergairah. Tapi, sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda-ria cerdas itu, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Gus Mus, aku harus segera berangkat ke Tebuireng, aku dipanggil Si Mbah.” Si Mbah yang disebut Gus Dur tak lain adalah sang kakek, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Itulah pertemuan terakhir Gus Mus dengan Gus Dur.
Oleh : Erik Yulianto (Member Sahabat Gus Dur)
Profile : https://www.facebook.com/nur.rifqi.96?fref=nf
Oleh : Erik Yulianto (Member Sahabat Gus Dur)
Ini kisah yang tak hanya mengesankan tapi mengharukan. Gus Mus bercerita bahwa sekitar seminggu menjelang berpulang, Gus Dur mampir ke kediamannya untuk bercengkerama seperti yang biasa dilakukannya sebelum hari itu untuk sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Tak ada sikap dan cara Gus Dur yang berubah.
Jika bertemu Gus Mus, Gus Dur akan bercerita tentang situasi bangsa dan negara, keadaan NU, keadaan para kiai, dan satu hal yang tak pernah ditinggalkan Gus Dur: membawa cerita-cerita unik, menarik, dan lucu yang membuat mereka berdua dan semua orang yang mendengar terbahak-bahak.
Pada hari itu, Gus Dur bicara tentang kawan-kawan lama saat di Kairo, Mesir. Mengenang kembali perjalanan belajar dan pengembaraannya di sana. Bercerita juga tentang teman-temannya yang kemudian menjadi orang besar di negaranya, seperti Abd. Al-Qayyum yang menjadi Presiden Maladewa.
Selain cerita di kediaman Gus Mus, Gus Dur hari itu makan banyak, Semua makanan yang dihidangkan dimakan, padahal sebelumnya sulit makan sudah 10 hari. Gus Mus pun tahu selera Gus Dur yang suka makan dengan sambal pedas.
Pertemuan yang direncanakan sebentar itu ternyata sampai sekitar dua jam. Gus Dur tampak sehat dan bergairah. Tapi, sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda-ria cerdas itu, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Gus Mus, aku harus segera berangkat ke Tebuireng, aku dipanggil Si Mbah.” Si Mbah yang disebut Gus Dur tak lain adalah sang kakek, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Itulah pertemuan terakhir Gus Mus dengan Gus Dur.
Oleh : Erik Yulianto (Member Sahabat Gus Dur)
Profile : https://www.facebook.com/nur.rifqi.96?fref=nf
Rabu, 22 Juni 2016
Gus Dur (Oleh : Habib Lutfi Bin Yahya)
Habib Luthfi Bin Yahya; Yang Sangat Bernilai dari Gus Dur
Ditulis kembali Oleh : Ayah Debay
"Saya modali!" jawab Habib Luthfi bin Yahya saat pertamakali disowani forum Gusdurian Tegal yang hendak mengadakan Haul Gus Dur yang ke-6. "Pihak yang diundang malah memberikan modal duluan bahkan dengan nominal yang cukup besar," ungkap panitia saat memberikan sambutannya di acara Haul Gus Dur ke-6 pada Selasa malam Rabu (19/01) di Gedung KORPRI Jl. Dr. Soetomo No. 2 Slawi Tegal.
Uniknya di Haul Gus Dur malam itu seluruh elemen bangsa berkumpul jadi satu dalam satu gedung. Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu "Kita Semua Bersaudara", merupakan ajang Silaturrahim Nusantara yang diprakarsai oleh PCNU dan Gusdurian Tegal dengan semua elemen masyarakat baik sipil, TNI, Polri dan tokoh-tokoh lintas agama. Hadir sebagai acara inti Mbak Alissa Wahid (putri Gus Dur), Romo Fran Magnis Suseno, dan Maulana Habib Luthfi bin Yahya.
"Mendiang adalah seseorang yang tak mengenal capek. Walaupun secara kondisi fisik, sulit untuk melihat. Tapi pola pikir, keintelektualan, wawasan kebangsaan dan keagamaan, dan kejeniusannya yang sulit untuk bisa ditemukan kembali." Ucap Habib Luthfi mengawali ceramah agamanya. Habib Luthfi sudah sering menemani Gus Dur semenjak sebelum menjadi Pengurus Besar NU, bersama Kiai Fuad Buntet Cirebon, berdakwah kesana-kemari satu mobil bersama. Pengalaman yang sangat bernilai dari Gus Dur adalah nilai sejarahnya yang selalu dipegang kuat. Karena mengenal sejarah maka beliau lebih jauh mengenal bangsanya. Karena mengenal sejarah maka sulit untuk bisa melupakan bangsanya. "Itulah diantara yang saya kenal dari Gus Dur," kenang Habib Luthfi.
Gus Dur kalau dicerna oleh orang yang belum faham atau tidak cerdas, maka pada dasarnya pemikiran Gus Dur yang melangkah lebih jauh ke depan sedang melatih kita berfikir cerdas. "Ibarat memetik mangga yang belum masak (pentil; bahasa Jawa), akan menjadikan sakit perut jika dimakan bukan pada waktunya. Namun menjadi kebutuhan bagi ibu hamil yang sedang ngidam," lanjut Habib Luthfi.
Pembicaraan Gus Dur itu tidak bisa dimakan hari ini. Tapi mungkin bisa dimakan satu bulan atau satu tahun kemudian. Orang akan baru menyadari, "Oh iya benar kata Gus Dur". Ada kritikan dari beberapa guru kita, diantaranya "Koe aja mung pinter ngalem kuburan bae" (Kamu jangan hanya suka memuji kuburan terus). "Lama-lama saya tanya maksudnya apa. Ternyata, ketika seorang tokoh atau pemimpin tersebut, dan memang resiko bagi dirinya, sewaktu masa hidupnya banyak dikatakan, "Orang itu terlalu keras", yang lain mengatakan, "Orang itu terlalu blak-blakan". Ada yang suka dan ada yang benci. Tetapi setelah tiadanya, yaitu sesudah di kuburan, mereka baru ramai-ramai memujinya."
Terkait tema Haul Gus Dur ke-6 "Kita Semua Saudara", menurut Habib Luthfi adalah tema yang sangat menyentuh dan luar biasa. Karena kita semua adalah saudara, bagian dari "Bela Bangsa". Yang namanya bela bangsa itu bukan hanya mengangkat senjata, latihan militer atau wajib militer. Meningkatkan rasa memiliki bangsa dan republik ini, itu juga bagian dari bela bangsa selain juga memajukan ekonomi dan pertanian. Menggalang persaudaraan, semua kita bersaudara, itu adalah benteng-benteng yang kokoh untuk melengkapi wujudnya ketahanan nasional.
Persaudaraan ada dua. Pertama, saudara seagama sebangsa setanah air. Kedua, saudara sebangsa setanah air, ini yang harus diperkuat. Tanpa memandang ras dan agamanya, tapi katakan "Saya Indonesia". Tidak ada sekat keturunan manapun, entah China ataupun Arab. Persaudaraan yang sejati adalah ketika saudara kita dicubit maka kita turut merasakan sakit, tanpa ada pengkotak-kotakkan. Jika terjadi pengkotak-kotakkan maka kita tidak akan tahu hakikat persaudaraan tersebut.
Menghargai hak sesama sudah jauh lebih dulu dilakukan oleh tokoh-tokoh kita terdahulu. Bahkan, lihatlah riwayat sejarah deklarasi Madinah terbentuk dari Yahudi, Nasrani dan Muslim untuk sama-sama saling menghormati dan menghargai hak sesamanya. Kita merupakan regenerasi dari sejarah, menjalin persaudaraan demi regenerasi masa yang akan datang. Dengan memahami itu bangsa akan menjadi kuat.
"Sebab yang saya khawatirkan adalah, seperti dalam ajaran kami Nabi Besar Muhammad Saw. dalam sabdanya: "Kadar bobot keimanan seseorang tergantung kecintaannya padaku." Kalau ditafsirkan, maka maknanya adalah ketika kadar bobot kecintaan (kepercayaan) seseorang pada tokohnya (dari agama manapun) memudar maka imannya pun semakin luntur. Kalau sudah luntur maka sangat mudah untuk dipecah-belah. Jangan coba-coba memecah-belah Bangsa Indonesia dan membenturkan antar umat beragama, karena "Kami Semua Bersaudara". Rapatkan barisan kita, jangan beri kesempatan seujung rambutpun kepada oknum-oknum manusia yang akan menghancurkan NKRI!" Tegas Habib Luthfi bin Yahya yang disambut dengan semangat antusias para pengunjung Haul Gus Dur malam itu.
Ditulis kembali Oleh : Ayah Debay
"Saya modali!" jawab Habib Luthfi bin Yahya saat pertamakali disowani forum Gusdurian Tegal yang hendak mengadakan Haul Gus Dur yang ke-6. "Pihak yang diundang malah memberikan modal duluan bahkan dengan nominal yang cukup besar," ungkap panitia saat memberikan sambutannya di acara Haul Gus Dur ke-6 pada Selasa malam Rabu (19/01) di Gedung KORPRI Jl. Dr. Soetomo No. 2 Slawi Tegal.
Uniknya di Haul Gus Dur malam itu seluruh elemen bangsa berkumpul jadi satu dalam satu gedung. Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu "Kita Semua Bersaudara", merupakan ajang Silaturrahim Nusantara yang diprakarsai oleh PCNU dan Gusdurian Tegal dengan semua elemen masyarakat baik sipil, TNI, Polri dan tokoh-tokoh lintas agama. Hadir sebagai acara inti Mbak Alissa Wahid (putri Gus Dur), Romo Fran Magnis Suseno, dan Maulana Habib Luthfi bin Yahya.
"Mendiang adalah seseorang yang tak mengenal capek. Walaupun secara kondisi fisik, sulit untuk melihat. Tapi pola pikir, keintelektualan, wawasan kebangsaan dan keagamaan, dan kejeniusannya yang sulit untuk bisa ditemukan kembali." Ucap Habib Luthfi mengawali ceramah agamanya. Habib Luthfi sudah sering menemani Gus Dur semenjak sebelum menjadi Pengurus Besar NU, bersama Kiai Fuad Buntet Cirebon, berdakwah kesana-kemari satu mobil bersama. Pengalaman yang sangat bernilai dari Gus Dur adalah nilai sejarahnya yang selalu dipegang kuat. Karena mengenal sejarah maka beliau lebih jauh mengenal bangsanya. Karena mengenal sejarah maka sulit untuk bisa melupakan bangsanya. "Itulah diantara yang saya kenal dari Gus Dur," kenang Habib Luthfi.
Gus Dur kalau dicerna oleh orang yang belum faham atau tidak cerdas, maka pada dasarnya pemikiran Gus Dur yang melangkah lebih jauh ke depan sedang melatih kita berfikir cerdas. "Ibarat memetik mangga yang belum masak (pentil; bahasa Jawa), akan menjadikan sakit perut jika dimakan bukan pada waktunya. Namun menjadi kebutuhan bagi ibu hamil yang sedang ngidam," lanjut Habib Luthfi.
Pembicaraan Gus Dur itu tidak bisa dimakan hari ini. Tapi mungkin bisa dimakan satu bulan atau satu tahun kemudian. Orang akan baru menyadari, "Oh iya benar kata Gus Dur". Ada kritikan dari beberapa guru kita, diantaranya "Koe aja mung pinter ngalem kuburan bae" (Kamu jangan hanya suka memuji kuburan terus). "Lama-lama saya tanya maksudnya apa. Ternyata, ketika seorang tokoh atau pemimpin tersebut, dan memang resiko bagi dirinya, sewaktu masa hidupnya banyak dikatakan, "Orang itu terlalu keras", yang lain mengatakan, "Orang itu terlalu blak-blakan". Ada yang suka dan ada yang benci. Tetapi setelah tiadanya, yaitu sesudah di kuburan, mereka baru ramai-ramai memujinya."
Terkait tema Haul Gus Dur ke-6 "Kita Semua Saudara", menurut Habib Luthfi adalah tema yang sangat menyentuh dan luar biasa. Karena kita semua adalah saudara, bagian dari "Bela Bangsa". Yang namanya bela bangsa itu bukan hanya mengangkat senjata, latihan militer atau wajib militer. Meningkatkan rasa memiliki bangsa dan republik ini, itu juga bagian dari bela bangsa selain juga memajukan ekonomi dan pertanian. Menggalang persaudaraan, semua kita bersaudara, itu adalah benteng-benteng yang kokoh untuk melengkapi wujudnya ketahanan nasional.
Persaudaraan ada dua. Pertama, saudara seagama sebangsa setanah air. Kedua, saudara sebangsa setanah air, ini yang harus diperkuat. Tanpa memandang ras dan agamanya, tapi katakan "Saya Indonesia". Tidak ada sekat keturunan manapun, entah China ataupun Arab. Persaudaraan yang sejati adalah ketika saudara kita dicubit maka kita turut merasakan sakit, tanpa ada pengkotak-kotakkan. Jika terjadi pengkotak-kotakkan maka kita tidak akan tahu hakikat persaudaraan tersebut.
Menghargai hak sesama sudah jauh lebih dulu dilakukan oleh tokoh-tokoh kita terdahulu. Bahkan, lihatlah riwayat sejarah deklarasi Madinah terbentuk dari Yahudi, Nasrani dan Muslim untuk sama-sama saling menghormati dan menghargai hak sesamanya. Kita merupakan regenerasi dari sejarah, menjalin persaudaraan demi regenerasi masa yang akan datang. Dengan memahami itu bangsa akan menjadi kuat.
"Sebab yang saya khawatirkan adalah, seperti dalam ajaran kami Nabi Besar Muhammad Saw. dalam sabdanya: "Kadar bobot keimanan seseorang tergantung kecintaannya padaku." Kalau ditafsirkan, maka maknanya adalah ketika kadar bobot kecintaan (kepercayaan) seseorang pada tokohnya (dari agama manapun) memudar maka imannya pun semakin luntur. Kalau sudah luntur maka sangat mudah untuk dipecah-belah. Jangan coba-coba memecah-belah Bangsa Indonesia dan membenturkan antar umat beragama, karena "Kami Semua Bersaudara". Rapatkan barisan kita, jangan beri kesempatan seujung rambutpun kepada oknum-oknum manusia yang akan menghancurkan NKRI!" Tegas Habib Luthfi bin Yahya yang disambut dengan semangat antusias para pengunjung Haul Gus Dur malam itu.
Doa Untuk Gus Dur Lintas Agama Semarang (Oleh:Ayah:Debay)
Aktivis NU, Kristen & Ahmadiyah Gelar Doa Bersama untuk Gus Dur di Semarang
Puluhan aktivis lintas agama dari NU, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghuchu dan Ahmadiyah menggelar doa bersama dan peringatan satu tahun meninggalnya Gus Dur di Monumen Tugu Muda Semarang, tadi malam (30/12/2010).
Lengkingan suara saxophone langsung terdengar mengisi hening peringatan mengenang mendiang tokoh besar yang dikenal humanis semasa hidupnya tersebut, mengiringi lantunan shalawat dan orasi kemanusiaan yang disampaikan.
Romo Aloys Budi Purnama, sang peniup saxophone memainkan beberapa lagu kebangsaan, seperti “Gugur Bunga”, “Kukenang Jasamu”, “Indonesia Pusaka”, dan “Satu Nusa Satu Bangsa” dengan irama menyayat, diikuti para peserta.
Meski berlangsung di tengah guyuran hujan, para peserta tidak beralih tempat dan tetap mengikuti acara bertema “Nyanyian Kebangsaan Mengenang Satu Tahun Wafatnya Gus Dur” itu dengan khidmat, membawa lilin yang menyala sambil berpayung.
"....Kaum minoritas yang dibela Gus Dur tidak hanya terbatas dalam konteks agama, namun juga seni dan budaya. Beberapa artis yang dipojokkan, dibela oleh Gus Dur...."
Romo Budi yang ditemui usai acara mengatakan, acara tersebut dimaksudkan mengenang Gus Dur yang baginya bukan hanya pahlawan nasional, namun pahlawan kemanusiaan yang selalu membela orang tertindas dan minoritas.
“Kaum minoritas yang dibela Gus Dur tidak hanya terbatas dalam konteks agama, namun banyak sisi, termasuk pendidikan, seni, dan budaya. Ini dibuktikan dengan beberapa artis yang dipojokkan dan dibela oleh Gus Dur,” katanya.
Menurut dia, semangat perjuangan Gus Dur harus diteruskan dan tidak boleh terhenti, terutama perjuangan dalam membela kemanusiaan dan menghargai serta merayakan kemanusiaan yang selama ini diusung oleh Gus Dur.
Ia menyebutkan, para tokoh lintas agama yang hadir, antara lain perwakilan agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu, bahkan ada pula perwakilan dari jamaah Ahmadiyah yang hadir dalam kesempatan itu.
“Acara ini diprakarsai oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, kebetulan saya perwakilannya dan Gus Dur Centre yang mengusung semangat perjuangan Gus Dur,” kata Romo Budi.
"....Para tokoh lintas agama yang hadir antara lain perwakilan agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Ahmadiyah...."
Senada dengan itu, Dr Nelwan selaku inisiator Gus Dur Centre mengatakan, acara tersebut ditujukan untuk menghidupkan semangat humanis, spiritualis, dan kebhinnekaan yang diperjuangkan oleh Gus Dur semasa hidupnya.
“Ini hanya perayaan sederhana untuk mengenang Gus Dur, sesuai dengan sifat kesederhanaan yang dimilikinya. Yang perlu diingat adalah Gus Dur selalu membela kepentingan masyarakat kecil, ini harus dilanjutkan,” kata Nelwan.
Karena itu, kata Nelwan, pihaknya berinisiatif membentuk Gus Dur Centre beberapa bulan setelah kiai nyentrik itu wafat, dimaksudkan untuk meneruskan semangat dan perjuangan Gus Dur dalam membela orang tertindas dan minoritas.
Acara yang diikuti sekitar 50 orang itu, termasuk elemen pemuda dari Nahdlatul Ulama dan pemuda gereja itu ditutup dengan ramah-tamah dan makan bersama, diiringi alunan saxophone Romo Budi dengan irama tembang “Tombo Ati”. [taz/ant]
Puluhan aktivis lintas agama dari NU, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghuchu dan Ahmadiyah menggelar doa bersama dan peringatan satu tahun meninggalnya Gus Dur di Monumen Tugu Muda Semarang, tadi malam (30/12/2010).
Lengkingan suara saxophone langsung terdengar mengisi hening peringatan mengenang mendiang tokoh besar yang dikenal humanis semasa hidupnya tersebut, mengiringi lantunan shalawat dan orasi kemanusiaan yang disampaikan.
Romo Aloys Budi Purnama, sang peniup saxophone memainkan beberapa lagu kebangsaan, seperti “Gugur Bunga”, “Kukenang Jasamu”, “Indonesia Pusaka”, dan “Satu Nusa Satu Bangsa” dengan irama menyayat, diikuti para peserta.
Meski berlangsung di tengah guyuran hujan, para peserta tidak beralih tempat dan tetap mengikuti acara bertema “Nyanyian Kebangsaan Mengenang Satu Tahun Wafatnya Gus Dur” itu dengan khidmat, membawa lilin yang menyala sambil berpayung.
"....Kaum minoritas yang dibela Gus Dur tidak hanya terbatas dalam konteks agama, namun juga seni dan budaya. Beberapa artis yang dipojokkan, dibela oleh Gus Dur...."
Romo Budi yang ditemui usai acara mengatakan, acara tersebut dimaksudkan mengenang Gus Dur yang baginya bukan hanya pahlawan nasional, namun pahlawan kemanusiaan yang selalu membela orang tertindas dan minoritas.
“Kaum minoritas yang dibela Gus Dur tidak hanya terbatas dalam konteks agama, namun banyak sisi, termasuk pendidikan, seni, dan budaya. Ini dibuktikan dengan beberapa artis yang dipojokkan dan dibela oleh Gus Dur,” katanya.
Menurut dia, semangat perjuangan Gus Dur harus diteruskan dan tidak boleh terhenti, terutama perjuangan dalam membela kemanusiaan dan menghargai serta merayakan kemanusiaan yang selama ini diusung oleh Gus Dur.
Ia menyebutkan, para tokoh lintas agama yang hadir, antara lain perwakilan agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu, bahkan ada pula perwakilan dari jamaah Ahmadiyah yang hadir dalam kesempatan itu.
“Acara ini diprakarsai oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, kebetulan saya perwakilannya dan Gus Dur Centre yang mengusung semangat perjuangan Gus Dur,” kata Romo Budi.
"....Para tokoh lintas agama yang hadir antara lain perwakilan agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Ahmadiyah...."
Senada dengan itu, Dr Nelwan selaku inisiator Gus Dur Centre mengatakan, acara tersebut ditujukan untuk menghidupkan semangat humanis, spiritualis, dan kebhinnekaan yang diperjuangkan oleh Gus Dur semasa hidupnya.
“Ini hanya perayaan sederhana untuk mengenang Gus Dur, sesuai dengan sifat kesederhanaan yang dimilikinya. Yang perlu diingat adalah Gus Dur selalu membela kepentingan masyarakat kecil, ini harus dilanjutkan,” kata Nelwan.
Karena itu, kata Nelwan, pihaknya berinisiatif membentuk Gus Dur Centre beberapa bulan setelah kiai nyentrik itu wafat, dimaksudkan untuk meneruskan semangat dan perjuangan Gus Dur dalam membela orang tertindas dan minoritas.
Acara yang diikuti sekitar 50 orang itu, termasuk elemen pemuda dari Nahdlatul Ulama dan pemuda gereja itu ditutup dengan ramah-tamah dan makan bersama, diiringi alunan saxophone Romo Budi dengan irama tembang “Tombo Ati”. [taz/ant]
Foto Gus Dur Ada Di Kelenteng Boen Bio (Oleh :Ayah:Debay)
Wow! Di Kelenteng Ini Cuma Ada Foto Gus Dur
Warga etnis Tionghoa baru saja memperingati Tahun Baru Imlek pada Senin (08/02/2016) lalu. Mereka pun merayakannya dengan berbagai kegiatan, termasuk tentu saja juga dengan melakukan ibadah sembahyang untuk memuja para dewa di vihara dan kelenteng. Nah, bicara soal kelenteng yang adalah tempat peribadatan umat agama Khonghucu, ada salah satu hal yang sangat menarik di Kelenteng Boen Bio di Surabaya, Jawa Timur. Saat memasuki kelenteng tertua di Surabaya itu, hanya ada satu foto yang terpajang di dindingnya. Menariknya, itu bukanlah gambar dewa, tokoh Khonghucu atau Tionghoa, melainkan foto Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid, atau biasa dikenal dengan nama Gus Dur.
Gus Dur Dianggap Sebagai ‘Bapak Bangsa’
"Dipasang sejak Gus Dur wafat pada 2009, sebagai bentuk penghormatan kami kepada beliau. Foto tersebut akan dipajang selamanya di Kelenteng Boen Bio. – Juru kunci Kelenteng Boen Bio, Liem Tiong Yang"
Foto Gus Dur yang terlihat memakai kopiah itu terpajang di salah satu sudut dinding kelenteng tersebut sejak tahun 2009 silam. Hingga saat ini, foto itu masih terpajang dan tidak akan diturunkan. “Dipasang sejak Gus Dur wafat pada 2009, sebagai bentuk penghormatan kami kepada beliau. Foto tersebut akan dipajang selamanya di Kelenteng Boen Bio,” ungkap juru kunci Kelenteng Boen Bio, Liem Tiong Yang kepada awak media, belum lama ini. Sosok mantan Presiden Indonesia yang keempat itu memang dekat dengan kaum Khonghucu dan Tionghoa secara umum. Dia dianggap sebagai ‘Bapak Bangsa’ yang sangat berjasa bagi eksistensi umat Khonghucu di Indonesia. Melalui Keputusan Presiden tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, Gus Dur membuktikan dia berdiri di atas semua kepentingan dan golongan dengan menjamin hak sipil warga Tionghoa.
Warga etnis Tionghoa baru saja memperingati Tahun Baru Imlek pada Senin (08/02/2016) lalu. Mereka pun merayakannya dengan berbagai kegiatan, termasuk tentu saja juga dengan melakukan ibadah sembahyang untuk memuja para dewa di vihara dan kelenteng. Nah, bicara soal kelenteng yang adalah tempat peribadatan umat agama Khonghucu, ada salah satu hal yang sangat menarik di Kelenteng Boen Bio di Surabaya, Jawa Timur. Saat memasuki kelenteng tertua di Surabaya itu, hanya ada satu foto yang terpajang di dindingnya. Menariknya, itu bukanlah gambar dewa, tokoh Khonghucu atau Tionghoa, melainkan foto Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid, atau biasa dikenal dengan nama Gus Dur.
Gus Dur Dianggap Sebagai ‘Bapak Bangsa’
"Dipasang sejak Gus Dur wafat pada 2009, sebagai bentuk penghormatan kami kepada beliau. Foto tersebut akan dipajang selamanya di Kelenteng Boen Bio. – Juru kunci Kelenteng Boen Bio, Liem Tiong Yang"
Foto Gus Dur yang terlihat memakai kopiah itu terpajang di salah satu sudut dinding kelenteng tersebut sejak tahun 2009 silam. Hingga saat ini, foto itu masih terpajang dan tidak akan diturunkan. “Dipasang sejak Gus Dur wafat pada 2009, sebagai bentuk penghormatan kami kepada beliau. Foto tersebut akan dipajang selamanya di Kelenteng Boen Bio,” ungkap juru kunci Kelenteng Boen Bio, Liem Tiong Yang kepada awak media, belum lama ini. Sosok mantan Presiden Indonesia yang keempat itu memang dekat dengan kaum Khonghucu dan Tionghoa secara umum. Dia dianggap sebagai ‘Bapak Bangsa’ yang sangat berjasa bagi eksistensi umat Khonghucu di Indonesia. Melalui Keputusan Presiden tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, Gus Dur membuktikan dia berdiri di atas semua kepentingan dan golongan dengan menjamin hak sipil warga Tionghoa.
Gus Dur Pemimpin Yang Berintegritas (Oleh :Prof KH Said Aqil Siraj)
Ketua PBNU Ajak Masyarakat Teladani Gus Dur
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengajak warga meneladani pola pikir KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Meski identik dengan ungkapan gitu aja kok repot, Gus Dur adalah seorang pemikir andal.
"Gus Dur kelihatannya secara lahir menggangap enteng segala masalah tapi sebenarnya beliau selalu mencari solusi, berpikir mencari terobosan bagaimana mengatasi masalah tersebut, siapa yang akan diutus bisa menangani, dimana dimulainya mengatasi masalah itu," ujar Said saat berpidato di Haul Gus Dur ke-6 di Kediaman Gus Dur, Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatam, Sabtu (26/12/2015).
Said mengatakan, pesan yang paling Ia ingat dari Gus Dur ialah, ilmu tidak berarti jika tak bermanfaat bagi orang banyak. Sebab, membuat ilmu itu bermanfaat lebih sulit daripada mendapatkan ilmu itu sendiri.
"Boleh saja di perguruan tinggi gudangnya profesor, guru besar, tapi belum tentu bermanfaat bagi orang banyak," jelas Said.
Begitu pun dengan Gus Dur, Ia merupakan salah satu sosok yang berhasil menebarkan ilmunya kepada khalayak. Misal, saat Gus Dur menjabat presiden, dirinya mampu mengambil keputusan tegas dari hasil pemikirannya.
"Di balik kotak peci hitamnya itu, sebenarnya ada khazanah yang besar, persis benar ketika mendelegasikan sesuatu pada seseorang," ujarnya.
"Jadi Gus Dur membuktikan dia orang yang bertanggung jawab, bukan manusia yang bodoh," sambungnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengajak warga meneladani pola pikir KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Meski identik dengan ungkapan gitu aja kok repot, Gus Dur adalah seorang pemikir andal.
"Gus Dur kelihatannya secara lahir menggangap enteng segala masalah tapi sebenarnya beliau selalu mencari solusi, berpikir mencari terobosan bagaimana mengatasi masalah tersebut, siapa yang akan diutus bisa menangani, dimana dimulainya mengatasi masalah itu," ujar Said saat berpidato di Haul Gus Dur ke-6 di Kediaman Gus Dur, Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatam, Sabtu (26/12/2015).
Said mengatakan, pesan yang paling Ia ingat dari Gus Dur ialah, ilmu tidak berarti jika tak bermanfaat bagi orang banyak. Sebab, membuat ilmu itu bermanfaat lebih sulit daripada mendapatkan ilmu itu sendiri.
"Boleh saja di perguruan tinggi gudangnya profesor, guru besar, tapi belum tentu bermanfaat bagi orang banyak," jelas Said.
Begitu pun dengan Gus Dur, Ia merupakan salah satu sosok yang berhasil menebarkan ilmunya kepada khalayak. Misal, saat Gus Dur menjabat presiden, dirinya mampu mengambil keputusan tegas dari hasil pemikirannya.
"Di balik kotak peci hitamnya itu, sebenarnya ada khazanah yang besar, persis benar ketika mendelegasikan sesuatu pada seseorang," ujarnya.
"Jadi Gus Dur membuktikan dia orang yang bertanggung jawab, bukan manusia yang bodoh," sambungnya.
Gus Dur Seorang Patriot Sejati (Oleh : Prof Mahfud MD)
Kenangan Pribadi Mahfud MD-Gus Dur
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) punya tempat sendiri di hati Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Mahfud merasa Gus Dur merupakan sosok yang membawanya menjadi orang berpengaruh di negeri ini.
Mahfud dijadikan Menteri Pertahanan dalam Kabinet Persatuan Nasional pada 26 Agustus 2000 – 20 Juli 2001. "Saya dulu orang kampung dan dari kampus gitu yang bukan apa-apa, tapi oleh Gus Dur diajak ke Jakarta tiba-tiba untuk bantu beliau jadi menteri. Lalu saya sampai sekarang banyak di Jakarta. Itu kenangan pribadi," kata Mahfud saat menghadiri Haul Gus Dur ke-6 di kediaman Gus Dur, Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (26/12/2015).
Di samping itu, Mahfud menilai Gus Dur merupakan sosok hebat. Gus Dur memiliki patriotisme tinggi terhadap Indonesia.
"Sambil belajar terhadap orang seperti Gus Dur yang pengabdiannya kepada Indonesia dan kepada kemanusiaan," imbuhnya.
Mahfud berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo juga dapat menauladani tokoh Nahdlatul Ulama itu, terutama dalam membela rakyat kecil.
"Semoga kita belajar dari kearifan Gus Dur di dalam memerintah, di dalam membina rakyat dan mencintai rakyat," ucap Mahfud.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) punya tempat sendiri di hati Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Mahfud merasa Gus Dur merupakan sosok yang membawanya menjadi orang berpengaruh di negeri ini.
Mahfud dijadikan Menteri Pertahanan dalam Kabinet Persatuan Nasional pada 26 Agustus 2000 – 20 Juli 2001. "Saya dulu orang kampung dan dari kampus gitu yang bukan apa-apa, tapi oleh Gus Dur diajak ke Jakarta tiba-tiba untuk bantu beliau jadi menteri. Lalu saya sampai sekarang banyak di Jakarta. Itu kenangan pribadi," kata Mahfud saat menghadiri Haul Gus Dur ke-6 di kediaman Gus Dur, Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (26/12/2015).
Di samping itu, Mahfud menilai Gus Dur merupakan sosok hebat. Gus Dur memiliki patriotisme tinggi terhadap Indonesia.
"Sambil belajar terhadap orang seperti Gus Dur yang pengabdiannya kepada Indonesia dan kepada kemanusiaan," imbuhnya.
Mahfud berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo juga dapat menauladani tokoh Nahdlatul Ulama itu, terutama dalam membela rakyat kecil.
"Semoga kita belajar dari kearifan Gus Dur di dalam memerintah, di dalam membina rakyat dan mencintai rakyat," ucap Mahfud.
KH Abdurrahman Addakhil Wahid (Oleh :Ayah Debay)
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid.
Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya. Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya. Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatiannya.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersamadengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.
Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia.
Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki. Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Perjalanan Karir Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid..
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret – 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 – Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia.
Dikisahkan oleh : Ayah Debay)
FB : https://www.facebook.com/liebedich.iev?fref=nf
Anggota Grup Sahabat Gus Dur
Senin, 20 Juni 2016
Gus Dur (Oleh : Prof John Mumu, Dosen Sam Ratulangi, Wakil Rais Syuriah NU Sulut)
Sempat Cukur Kumis Gus Dur
Oleh : Prof John Mumu, Dosen Sam Ratulangi, Wakil Rais Syuriah NU Sulut
KH Abdurrahman Wahid selalu menghadirkan kenangan di benak banyak orang. Dari kalangan rakyat hingga pejabat. Tak lain, karena tangguhnya ia bersilaturahim dengan siapa pun, tanpa batas etnis, golongan politik, keyakinan ataupun kelas ekonomi.
Salah seorang yang selalu mengingat kiai yang biasa disapa Gus Dur tersebut adalah Prof. John Mumu. Seorang pensiunan dosen Universitas Sam Ratulangi, yang juga Wakil Rais Syuriyah NU Sulawesi Utara. “Saya cukup lama bergaul dengan Gus Dur. Ada 20 tahunan lebih,” ungkapnya ketika ditemui NU Online, beberapa waktu lalu. Ia mengaku kenal Ketua Umum PBNU 1984-1999 dan Presiden RI ke-4 sejak tahun 1980-an. “Ada pertemuan di Taman Mini waktu itu. Ketemu Gus Dur. Setelah acara itu, langsung dialog. Langsung akrab begitu. Kami kontak batin. Kemudian tidur-tidur dengan dia di kantor PBNU,” ungkapnya.
John Mumu, pria kelahiran Sulawesi tersebut, kemudian sering diajak jalan-jalan Gus Dur, seperti ziarah Wali Songo. Melalui Gus Dur pula ia mengenal istilah “lesehan”. “Mulanya saya tidak tahu. Ketika di suatu warung makan, duduk bersama, Gus Dur menjelaskan lesehan,” kenangnya. Ketika cucu Hadrotusy Syekh tersebut menjadi presiden, persahabatan tidak putus. “Malah saya sampai tidur-tidur di istana, ikut keliling-keliling juga.” Yang paling berkesan, sambung John Mumu, ketika ia diminta bertemu Gus Dur saat akan melawat ke Korea Selatan. “Ia mau ke Korea. Saya diminta ketemu dulu. Saya terlambat. Lari-lari. Sudah di dalam mobil, sudah mau jalan. Tapi ketika dia dikasih tahu ada saya oleh Paspampres, dia turun dari dalam mobil. Gus Dur kemudian menjelaskan bahwa ia akan memenuhi undangan pemerintah Korea. Dan minta didoakan oleh John Mumu. “Saya bilang, bukan main penghargaannya kepada saya. Luar biasa! Ini presiden,” ungkap John Mumu geleng-geleng kepala.
Ia juga berkisah pernah tidur bareng Gus Dur. “Saya pernah satu bantal dua kepala. Kalau dia pegal, saya urut, sampai dia mendengkur.” Dalam kesempatan lain, ia juga pernah menemani Gus Dur ke Surabaya. “Kami jalan-jalan hingga beberapa hari. Jenggot dan kumisnya Gus Dur kan sudah panjang. Tidak cukur-cukur. Dia kasih alat cukurnya itu. Kemudian ya saya cukur,” ungkapnya sambil tersenyum. Gus Dur juga lupa obat tetes matanya tidak dibawa. “Saya punya, saya bawa. Saya tetesin ke matanya.”
Penulis: Abdullah Alawi
Ditulis kembali oleh :
Ayah Debay (Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Dikutip dari NU Online
Oleh : Prof John Mumu, Dosen Sam Ratulangi, Wakil Rais Syuriah NU Sulut
KH Abdurrahman Wahid selalu menghadirkan kenangan di benak banyak orang. Dari kalangan rakyat hingga pejabat. Tak lain, karena tangguhnya ia bersilaturahim dengan siapa pun, tanpa batas etnis, golongan politik, keyakinan ataupun kelas ekonomi.
Salah seorang yang selalu mengingat kiai yang biasa disapa Gus Dur tersebut adalah Prof. John Mumu. Seorang pensiunan dosen Universitas Sam Ratulangi, yang juga Wakil Rais Syuriyah NU Sulawesi Utara. “Saya cukup lama bergaul dengan Gus Dur. Ada 20 tahunan lebih,” ungkapnya ketika ditemui NU Online, beberapa waktu lalu. Ia mengaku kenal Ketua Umum PBNU 1984-1999 dan Presiden RI ke-4 sejak tahun 1980-an. “Ada pertemuan di Taman Mini waktu itu. Ketemu Gus Dur. Setelah acara itu, langsung dialog. Langsung akrab begitu. Kami kontak batin. Kemudian tidur-tidur dengan dia di kantor PBNU,” ungkapnya.
John Mumu, pria kelahiran Sulawesi tersebut, kemudian sering diajak jalan-jalan Gus Dur, seperti ziarah Wali Songo. Melalui Gus Dur pula ia mengenal istilah “lesehan”. “Mulanya saya tidak tahu. Ketika di suatu warung makan, duduk bersama, Gus Dur menjelaskan lesehan,” kenangnya. Ketika cucu Hadrotusy Syekh tersebut menjadi presiden, persahabatan tidak putus. “Malah saya sampai tidur-tidur di istana, ikut keliling-keliling juga.” Yang paling berkesan, sambung John Mumu, ketika ia diminta bertemu Gus Dur saat akan melawat ke Korea Selatan. “Ia mau ke Korea. Saya diminta ketemu dulu. Saya terlambat. Lari-lari. Sudah di dalam mobil, sudah mau jalan. Tapi ketika dia dikasih tahu ada saya oleh Paspampres, dia turun dari dalam mobil. Gus Dur kemudian menjelaskan bahwa ia akan memenuhi undangan pemerintah Korea. Dan minta didoakan oleh John Mumu. “Saya bilang, bukan main penghargaannya kepada saya. Luar biasa! Ini presiden,” ungkap John Mumu geleng-geleng kepala.
Ia juga berkisah pernah tidur bareng Gus Dur. “Saya pernah satu bantal dua kepala. Kalau dia pegal, saya urut, sampai dia mendengkur.” Dalam kesempatan lain, ia juga pernah menemani Gus Dur ke Surabaya. “Kami jalan-jalan hingga beberapa hari. Jenggot dan kumisnya Gus Dur kan sudah panjang. Tidak cukur-cukur. Dia kasih alat cukurnya itu. Kemudian ya saya cukur,” ungkapnya sambil tersenyum. Gus Dur juga lupa obat tetes matanya tidak dibawa. “Saya punya, saya bawa. Saya tetesin ke matanya.”
Penulis: Abdullah Alawi
Ditulis kembali oleh :
Ayah Debay (Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Dikutip dari NU Online
Kamis, 09 Juni 2016
Cerita Gus Dur Debat dengan Cak Nur soal Sarung & Celana (Oleh : Ievyani Liebedich)
Cerita Gus Dur Debat dengan Cak Nur soal Sarung & Celana
Selain aktivis Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur semasa hidup juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Dalam ranah pemikiran, ia selalu dikesankan publik berseberangan dengan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur.
Meski sama-sama pemikir pembaharu, pelakat umum yang dipasangkan banyak pihak kepada keduanya berbeda: Gus Dur tradisionalis, Cak Nur modernis. Banyak pihak menilai keduanya berbeda cara pandang dalam hal apapun karena dilatari oleh perbedaan kultur akademik dan muasal ilmu yang mereka ceruk.
Banyak cerita soal perdebatan sengit antara Gus Dur dan Cak Nur kala keduanya satu panggung dalam satu forum keilmuan. Di antaranya saat Gus Dur dan Cak Nur diundang mahasiswa Fakultas Ushuludin IAIN (kini UIN) Sunan Ampel Surabaya, awal tahun 1980-an.
"Waktu itu Gus Dur masih belum pengurus PBNU. Gus Dur hadir pakai sarung sendalan jepit, Cak Nur pakai celana rapi," kata Soerawi, akademisi sekaligus bekas pegawai Bagian Akademik Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, ditemui di rumahnya, di Jalan Jemur Wonosari Surabaya, Sabtu, 26 Desember 2015.
Soerawi ikut nimbrung di seminar yang dinarasumberi Gus Dur dan Cak Nur itu. Dua pemikir muslim itu, kata pria yang bertugas di IAIN sejak tahun 1967 itu, 'kuat-kuatan' argumentasi tentang pemikiran Islam dalam konteks ke-Indonesia-an. Sesekali debat sengit terjadi antara keduanya. Tapi sesekali pula canda mencampuri.
Yang menarik, lanjut Soerawi, kala Gus Dur dan Cak Nur berbeda pandangan tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap pemerintahan, yang saat itu masih dipimpin oleh Presiden Soeharto. Perdebatan terjadi bahkan dalam hal kecil, soal cara berbusana ketika bertemu dengan pejabat pemerintahan.
"Waktu itu Cak Nur bilang, 'kalau menghadap pejabat harus memakai celana dan rapi'. Tapi Gus Dur menimpali, 'kalau menghadap atasan pejabat, saya enggak masalah pakai sarung dan sendal jepit'," cerita Soerawi mengulang ucapan Gus Dur dan Cak Nur saat itu.
Gus Dur tak dikenali karena pakai sendal jepit
Soal sendal jepit, Soerawi punya cerita lain tentang Gus Dur dari temannya yang pernah mengundang Gus Dur mengisi seminar. Waktu itu, masih tahun 1980-an, Presiden RI ke-empat itu diundang mengisi seminar oleh aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. "Dari Jakarta Gus Dur ke Malang naik kereta api," ujarnya.
Menjelang jadwal kereta tiba, panitia seminar yang masih semester belia datang ke stasiun untuk menjemput Gus Dur. Begitu kereta tiba, panitia mencari Gus Dur di tengah gerombolan orang yang turun dari kereta. "Panitia tak menemukan Gus Dur turun," kata Soerawi.
Ternyata, panitia silap. Gus Dur sebenarnya sudah turun dari kereta dan melewati panitia yang mencarinya. Gus Dur mendengar pembicaraan panitia yang menjemputnya. "Gus Dur dengar panitia yang bilang dia tidak datang. Karena tidak ketemu di stasiun," kata Soerawi.
Gus Dur akhirnya naik becak dari stasiun ke kampus Unibraw. "Sampai di tempat seminar, Gus Dur cerita kejadian di stasiun ke panitia. Dia bilang, mungkin karena pakai sendal jepit dan peci, panitia yang menjemput tidak mengenal. Karena tidak berpantalon rapi," kata Soerawi sembari tersenyum.
Malam ini, Sabtu, 26 Desember 2015, haul Gus Dur digelar di Ciganjur dan kompleks Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Di Jombang, Wakil Presiden Jusuf Kalla dijadwalkan hadir di acara haul ke-enam mantan Ketum PBNU dan Presiden ke-empat Republik Indonesia itu.
Selasa, 07 Juni 2016
CATATAN RAMADHAN BUAT CALON PRESIDEN. (Oleh : Ayah Debay)
TIDAK sekali-kali aku mengabdi kepada Gus Dur kecuali untuk gagasan politik kebangsaan yang digagasnya. Dan tiada keraguan sedikit pun bagiku pikiran yang dikembangkan Gus Dur selain demi kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebab ketika aku bertanya “Bagaimana cara mengeluarkan bangsa ini dari krisis?” Gus Dur menjawab: “Karena saya orang pesantren, tiada referensi yang lebih baik kecuali Al Qur’an. Dan Surat Yusuf dengan kisah 7 sapi kurus dan 7 sapi gemuk adalah sebaik-baik metode penyelesaian krisis bagi suatu bangsa!”
Gus Dur kemudian menjelaskan kisah Kanjeng Nabi Yusuf yang spektakuler itu, yang menurut Gus Yahya (Staquf) itu hasil istikhoroh beberapa kiai khos yang diminta Gus Dur untuk mencari rumusan guna bekal menjalankan amanah sebagai Presiden RI.
“Kalau dihitung krisis bangsa kita mulai 1997, maka menurut metode Nabi Yusuf krisis akan selesaikan pada 2004,” tutur Gus Dur.
Tapi bukankah dalam Kitab Suci Nabi Yusuf menangani krisis dengan terlebih dulu melakukan kerja antisipasi sejak krisis belum terjadi? Sedang Gus Dur harus mulai pada 1999, dua tahun setelah krisis terjadi?
“Makanya kita harus bekerja lebih keras dan lebih cepat dalam membangun fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menahan agar krisis tidak semakin dalam. Kita juga harus segera menata lumbung-lumbung bangsa, sumber-sumber daya yang kita miliki, agar bisa dinikmati oleh seluruh rakyat seperti pesan Konstitusi UUD 1945,” kata Gus Dur.
Aku kemudian menyaksikan bersama kabinetnya, terutama ekonom DR Rizal Ramli yang dikatakan iman kebangsaannya 24 karat, mengayunkan langkah dengan tegap dan tegas.
Bulog yang di zaman Soeharto merupakan salah satu lumbung korupsi, direformasi agar benar-benar menjadi penopang perekonomian para petani. Dilakukan moratorium (penghentian) penjualan sumber-sumber daya alam (minyak, gas, dll). Blok Cepu yang kaya minyak dan Blok Tangguh dengan cadangan gas sangat besar, proses penjualannya ditinjau kembali.
Sedang yang sudah berjalan seperti Freeport di Papua, direnegosiasi karena di masa lalu kontraknya penuh rekayasa dan dikorup para pembesar negara. Tak lupa Rizal Ramli juga diminta Gus Dur untuk mengatur ulang berbagai tata niaga dan kebijakan moneter demi sebesar-besar kepentingan perekonomian domestik.
Di bidang sosial politik, gebrakan Gus Dur dimulai dari dalam pemerintahan sendiri. Departemen Sosial dilikuidasi. Bukan hanya karena dijadikan lahan korupsi di masa lalu, tapi untuk membangkitkan kembali solidaritas sosial di masyarakat. Sebab sesungguhnya sifat kebersamaan, penghormatan terhadap kebhinekaan (pluralisme), mengakar sangat kuat di tengah masyarakat kita.
Gus Dur juga percaya, sebenarnya rakyat Indonesia punya daya survival yang tinggi, dan setiap daerah memiliki cara untuk melakukan recovery untuk berbagai tantangannya. Bahkan dalam hal terjadi konflik sosial. Tapi oleh rezim Soeharto semua itu dirusak, dan diubah jadi ketergantungan kepada pemerintah (Pusat).
Departemen Penerangan dibubarkan karena dalam pandangan Gus Dur, tidak ada penjelasan yang lebih baik atas kinerja pemerintah kepada rakyat kecuali dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, serta keteladanan para pejabat negaranya. Itulah sebabnya siapa pun pejabat publik yang terindikasi korupsi, tak terkecuali menteri-menteri dari parpol pendukung, langsung diberhentikan.
Tidak pernah dijadikan pertimbangan apakah (pemecatan menteri) korup itu akan berdampak politik atau tidak. “Kepercayaan rakyat atas kredibilitas dan integritas pemerintahan jauh lebih penting dibandingkan dampak politik di internal pemerintah (presiden),” jawab Gus Dur ketika aku mengingatkan soal pemecatan menteri-menterinya itu.
Langganan:
Postingan (Atom)