Minggu, 18 Desember 2016

KH Abdurrahman Addakhil (Wahid), Sebuah Teladan (Oleh : Ronny Leung)

Keluarga Gus Dur

Nama almarhum Gus Dur yang sebenarnya adalah Abdurrahman “Addakhil”. Secara leksikal, “Addakhil” mempunyai arti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang  menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup diketahui orang dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan lalu lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik.

Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.

Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ .

Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur. Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.

Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya.

Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.

Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970.

Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.

Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).

Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.

Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal.

Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.

Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur.

Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.


Penghargaan

  • Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
  • Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
  • Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
  • Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
  • Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
  • Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000

  • Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
  • Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
  • Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
  • Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
  • Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
  • Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
  • Medals of Valor, sebuah penghargaan bagi personal yang gigih memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme, diberikan oleh Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM dan toleransi antarumat beragama), New York, 5 Maret 2009.
  • Penghargaan nama Abdurrahman Wahid sebagai salah satu jurusan studi Agama di Temple University, Philadelphi, 5 Maret 2009.
  • Serta berbagai macam  penghargaan-penghargaan lainnya…

Rabu, 14 Desember 2016

MBAH WALI GUS DUR DIWAWANCARA DI TEMPAT YANG BERBEDA DI WAKTU YANG SAMA ( Oleh : Shuniyya Ruhama)

MBAH WALI GUS DUR DIWAWANCARA DI TEMPAT YANG BERBEDA DI WAKTU YANG SAMA

Pada tahun 2009, ketika Shuniyya masih menjadi executive editor di salah satu Majalah Nasional, terjadi peristiwa aneh bin ajaib tentang sosok Mbah Wali Gus Dur.

Pada saat itu, ada dua wartawan “berantem” seru sekali dan saling membela diri bahwa merekalah yang benar. Satu sama lain benar-benar tidak mau mengalah. Pusing deh... Wartawan A menunjukkan bukti berupa foto dan rekaman wawancara dengan Mbah Wali di Surabaya pada jam 12.00.  Di waktu yang sama, wartawan B juga melakukan wawancara dengan Mbah Wali di Gresik dengan menunjukkan bukti foto dan catatan wawancara yang dilakukan pada hari dan tanggal yang saja, jam 12.30.

Bukankah Surabaya – Gresik tidak mungkin ditempuh dalam waktu 30 menit apalagi pasti ada sambutan dulu dari tuan rumah, dan selesai acara beliau tidak langsung meninggalkan lokasi. Belum lagi kalau siang hari lalu lintas Surabaya dipastikan macet sekali?

Mendengar hal tersebut, hati Shuniyya hanya mampu berdesir, “Subhanallah... subhanallah... inna awliyaa Allahi la khoufun ‘alayhim walaa hum yahzanuun..”Ini salah satu point diantara banyak faktor mengapa beliau disebut Mbah Wali. Salam cinta Mbah Wali Gus Dur.

Ila hadroti ruhi Simbah Wali KH Abdurrahman Wahid wa dzurriyatihi wa furu’ihi wa silsilatihi wa muridihi wa muhibbihi ya Allah... wa muhibbihi ya Allah... wa muhibbihi ya allah syai-un lillahu lana wa lahum Al Fatihah....

Shuniyya Ruhama H

14 Desember 2016

Kamis, 27 Oktober 2016

Somsing ... Somsing ... eh Some Sing (Oleh:Sila Syahputra.S)

Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke kediaman KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang, Jawa Tengah. Didampingi istrinya Ny Sinta Nuriyah dan putrinya, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny).

Gus Dur tiba di rumah Gus Mus di kompleks Pondok Pesantren Roudlatut Tholibien, Rembang, Kamis (2/11/2006) pukul 09.00 WIB. Selain disambut Gus Mus sebagai tuan rumah, mantan ketua umum PB NU itu disambut Ketua PC NU Pati KH Muadz Thohir; mantan juru bicara Gus Dur, Yahya Cholil Staquf; serta istri Gus Mus, Siti Fatma.

Gus Dur mengakui bahwa dirinya dan Gus Mus adalah sahabat lama. Namun, belakangan, karena repot dengan urusan masing-masing, dirinya dan Gus Mus jarang bertemu. "Jadi, ini pertemuan kangen-kangenan. Maksud saya ke sini ya untuk silaturahmi. Kebetulan, saya punya undangan halalbihalal di Jepara. Jadi, sekalian mampir," ungkap Gus Dur.

Sementara itu Gus Mus menyatakan pertemuan mereka ini sebagai pertemuan dua orang yang benar-benar manusia. "Kami seperti tadi yang didengar semuanya, hanya ngobrol sebagai manusia saja. Karena terkadang saking sibuknya dengan pekerjaan, kita lupa bahwa kita ini manusia. Yang dibicarakan hanya permasalahan profesi dan lain-lainnya. Pada pertemuan silaturahim ini, kami empan papan dan tidak membicarakan masalah politik," kata Gus Mus.

Memang, kenyataannya dalam pertemuan keduanya di salah satu ruangan Ponpes Raudlatut Thalibin berukuran tak kurang dari 5x12 meter berkarpet hijau itu lebih banyak berkisar cerita-cerita ringan seputar kehidupan sehari-hari dan canda tawa. Tak jarang, cerita kedua tokoh yang sedang temu kangen itu membuat tawa sejumlah orang yang turut mendengarkan. Tak lupa, mereka berdua bertukar cendera mata. Gus Dur memberikan cendera mata berupa buku terbarunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi kepada Gus Mus. Sementara itu, Gus Mus memberikan buku Gandrung dan Lukisan Kaligrafi kepada Gus Dur.

Dalam pertemuan itu, Gus Dur mengenang semasa kuliah di Universitas Al Azhar, keduanya berkumpul setiap hari selama hampir tiga tahun. Keduanya kemudian bergulat dalam Himpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia (HPPI) Mesir.

"Saya dan Gus Mus membuat majalah yang ditulis sendiri, dibiayai sendiri, dan diedarkan sendiri. Selalu juga merugi sendiri," kata Ketua Dewan Syura DPP PKB itu.

Gus Mus muda, kenang kiai kelahiran Jombang 4 Agustus 1940 itu adalah orang yang memiliki banyak teman bergaul. Salah satu teman Gus Mus, menurut mantan Presiden RI itu, adalah Abdullah Syukri (Pimpinan Ponpes Gontor -red). Suatu hari, Abdullah Syukri yang pintar main gitar tersebut, kata Gus Dur, naksir cewek Filipina. Abdullah Syukri kemudian mencoba menyanyi untuk meraih hati cewek tersebut.

"Gus Mus ini, setelah Abdullah Syukri menyanyi, nyeletuk somsing-somsing. Eh nggak tahunya yang dimaksud adalah some sing," tutur Gus Dur yang ditimpali Gus Mus dengan tawa.

Gus Dur di Mata Tuan Guru KH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Oleh : Sila Syahputra.S)

Tampak dalam foto adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid di Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu. Di mata Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru
yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama yaitu Syaikh Amin al-Kutbi. (Baca : Biografi lengkap TGKH. Zainuddin Abdul Majid )

Berikut ini adalah hasil sebuah wawancara tentang Gus Dur (NU) dengan TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Pendiri PWK-NW/Perwakilan Khusus Nahdhatul Wathan), Mesir. Beliau adalah kandidat Master The American Open University, in Cairo. Beliau seorang intlektual muda dan kiyai ternama, penulis buku “Sabda Sufistik”, lahir di Saudi Arabia, dan pernah dianugerahi shalat di dalam Kakbah, karena termasuk pelajar yang berprestasi.

1. Sosok Gus Dur, Pendekar Bangsa yang Agamis
Gus Dur sebagai anak kandung tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam tulisan tinta sejarah, Kyai Wahid banyak sekali memberikan ide-ide brilian, diantaranya “menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta”, bersama KH. Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.
Di sini jelas, bahwasanya bapak Gus Dur sebagai mantan Menteri Agama di era 40-an, sudah menggulirkan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini, karena Indonesia adalah negara Islam secara substansial namun nasionalis secara formal. Dari keberanian KH. Wahid Hasyim, banyak pihak yang tidak menyukainya. Sehingga tak heran bila beliau meninggal karena diakibatkan kecelakaan, yang diduga akibat ulah musuh-musuh politiknya untuk melenyapkannya.
Dari silsilah kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. Hasim Asy’ari, seorang tokoh kharismatik sepanjang sejarah Nahdlatul Ulama yang mampu mengumpulkan kiyai-kiyai untuk menyelamatkan nasionalisme bangsa ini, tanpa meninggalkan tradisi dan ideologi sebagai seorang muslim dan kiyai kharismatik. Tak heran, bila Bung Karno dan Bung Tomo sering meminta petunjuk dari beliau sebelum melangkah mewarnai hitam putih bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November yang dijadikan sebagai hari pahlawan, sebenarnya berawal dari tradisi memperingati jasa para pahlawan yang ada dalam NU setiap tahun, atau yang disebut dengan haul.
Apabila ditarik ke belakang, Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi makam Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional.
Dari beberapa hal yang saya sebutkan di atas, Gus Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil; seorang penakluk, yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya, Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.

2. Sumbangsih Gus Dur bagi Bangsa
Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa? Coba Anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisionalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progresif bagi bangsa Indonesia, tapi diakui oleh dunia internasional. Diantaranya, tokoh-tokoh barat banyak yang tertarik untuk mengkaji Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sekarang, tidak hanya dibatasi dengan literatur-literatur lokal tetapi juga turut mewarnai ensiklopedia internasional.

Di sisi lain, kaum non-Muslim banyak yang menganggap Gus Dur adalah sang penyelamat. Karena Gus Dur tidak hanya seorang Muslim yang berjuang untuk orang-orang Islam saja, tapi juga memusnahkan ketertindasan yang dialami orang-orang non-Muslim di Indonesia, seperti orang-orang Cina yang dilarang untuk merayakan hari raya Imlek dan orang-orang Kristen yang selalu dianggap sebagai kaum yang layak untuk diperangi.

Al-Quran menyebutkan: “Walan tardha ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millatahum”, ayat tersebut diaktualisasikan dalam tafsir sang Abdurrahman Wahid sebagai keyakinan terhadap identitas agama masing-masing. Jadi, bukan orang Yahudi dan Nasrani yang membenci Muslim, lantas harus diperangi, tapi seorang Muslim harus berani bersaing sehat dengan Yahudi dan Nasrani untuk mengembangkan ajaran Islam. Kenapa kita harus takut dengan Kristenisasi dan Yahudisasi, sementara kita sendiri berlomba-lomba untuk melakukan Islamisasi. Islam adalah agama universal, keberadaannya untuk mengayomi alam semesta, sebagaimana Rasulullah diutus bukan untuk memerangi orang-orang kafir, tapi untuk menyelamatkan mereka dari penyakit kekufuran.
Kaum minoritas tidak disingkirkan oleh Gus Dur, tapi diberikan hak hidup dan dibebaskan untuk menentukan pilihannya. Saya jadi teringat Jendral Thariq bin Ziyad tatkala menaklukkan Andalusia. Penaklukan-penaklukan (futuhat) yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Islam tempo dulu, untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan, bukan agar mereka memeluk agama Islam dan menjalankan syariatnya.
Tak heran bila dikenal istilah kafir dzimmi dalam literatur hukum Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Man adza dzimmiyyan faqad adzani.” Artinya, siapa yang memusuhi non-Muslim atau kelompok minoritas yang dilindungi oleh bangsa dan negara, berarti memusuhi Rasulullah Saw.

3. Ide-ide Gus Dur dalam Mencerahkan NW di Mesir dan di Indonesia.
Berawal dari titik tolak NW di NTB yang eksklusif, saya ingin menjadikan NW tetap pada khittahnya, namun bersifat inklusif. Sehingga saya dan teman-teman mencoba menggagas kajian al-Abrar yang kemudian menjadi PwK-NW (Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan). Sebab, sebagai negara yang bebas, banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang kadang-kadang tertutup cara berfikirnya dan picik pandangannya. Namun, tak sedikit dari mereka yang kebablasan dan liberal.
Nah, Gus Dur sebagai tokoh moderat yang pernah belajar di Mesir sudah sepatutnya menjadi figur yang bisa menjadikan NW dalam garis moderat (wasathiyah). Kenapa saya katakan moderat? Karena Gus Dur selalu hadir sebagai penyeimbang, tatkala kebanyakan orang berbondong-bondong menuju arah kanan, Gus Dur mengingatkan arah kiri, dan sebaliknya. Jadi, bagi saya itu bukan sesuatu yang nyleneh, tapi merupakan stabilisasi keadaaan agar tidak timpang dan carut-marut. Selama masih berpegang kepada apa yang kita yakini, kenapa tidak?
NW di Indonesia, sering mengalami krisis gaya berfikir yang modern, dengan menafikan pihak lain. Padahal, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid sebagai pendiri NW menamakannya dengan kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan), bukan kebangkitan pribadi atau golongan. Cara berfikir yang sempit, tentu akan mempengaruhi dalam prilaku keseharian dan interaksi sosial.
Apa yang saya alami tatkala memberikan taushiyah atau khutbah di salah satu masjid tentang NW, padahal realitanya pengurus masjid tersebut adalah orang-orang NU, ternyata dianggap tabu. Tentu, saya khawatir tatkala ingin mengambil teladan tokoh NU di kalangan orang-orang NW. Sungguh cara berinteraksi sosial yang perlu dirubah.

Soal suksesi kepemimpinan, sudah selayaknya NW berkembang secara organisasi, sekaliber NU dan Muhammadiyah. Bila kepemimpinan NW disyaratkan harus pewaris secara biologis, berarti sang pemimpin tersebut harus memiliki kapabilitas. Sebagaimana dicontohkan TGH. M. Zainul Majdi sebagai pimpinan NW sekarang dan terpilih menjadi Gubernur NTB. Sebuah organisasi yang sehat, bukanlah sebuah kerajaan yang diwarisi oleh para pangeran, namun “the right man in the right place”.
Sementara meneladani Gus Dur dari sisi ideologi, harus dipandang dengan pikiran terbuka dan wawasan yang luas, sebagaimana beliau sering mnyitir kaidah fikih “Tasharruful imam ‘alarra’iyyah manuthun bil mashlahah”. Artinya, apa yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai sang pendobrak, selalu memberikan maslahat atau kebaikan bagi orang lain, walaupun sering tidak difahami oleh kebanyakan orang. Dengan catatan, keterbukaan ideologis yang revolusioner tetap pada khittah organisasi dan tidak menyimpang.
Ironi, ketika pengikut setia Nahdlatul Wathan malah menjadi aktifis PKS atau FPI, bahkan HTI dan lain-lain. Karena, Nahdlatul Wathan sebagai penganut nilai-nilai sufistik, sangat berbeda 180 drajat dengan kelompok-kelompok yang saya sebutkan tadi.

4. Teladan Gus Dur
Gus Dur adalah sosok nasionalis sejati, tidak hanya harta dan benda yang beliau korbankan untuk bangsa dan negara ini, namun beliau sering lupa akan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Pernah terjadi tatkala beliau menjadi presiden, dokter kepresidenan kebingungan, karena beliau kencing darah. Tapi ternyata beliau menanggapi dengan enteng dan santainya: “Saya yang kencing darah, kok kalian yang repot..!!”
Sebuah kepribadian yang patut kita contoh karena sangat perduli terhadap kemaslahatan orang lain, bangsa dan negara, hingga tidak menghiraukan dirinya sendiri.

Gus Dur adalah seorang pengamal tarekat, Kiyai Sonhaji dari Kebumen yang menjadi mursyid tarekatnya, banyak memberikan pencerahan terhadap dimensi spiritualnya. Seperti memaknai hadits “Tabassumuka ‘ala wajhi akhika kashshadaqah”, tidak hanya diartikan secara tekstual, dengan kata lain, senyum adalah sedekah. Akan tetapi, hakikatnya, senyum adalah sebuah wujud solidaritas kepedulian seseorang terhadap orang lain.

Manifestasi nasionalisme Gus Dur adalah cerminan seseorang yang selalu menyempurnakan imannya, karena hubbul wathan minal iman. Di sisi lain, Gus Dur sering dihujat karena keyakinannya untuk membela yang lemah dan teraniaya, seperti membela Ahmadiyah yang secara undang-undang tidak bisa dilarang dan diusir dari bumi Indonesia, walaupun secara ideologi, Gus Dur bukanlah seorang Ahmadiyah. Tuduhan Syiah, sesat, antek Zionis, dan sebagainya sering diterimanya dengan lapang dada. “Gitu aja kok repot” balasan santainya yang masyhur di antara kita.
Privasi antara hamba dengan Tuhannya, bagi Gus Dur tidak dapat diganggu gugat. Bahkan Gus Dur tidak segan-segan untuk melawan arus kelompok yang seolah-olah melakukan perlawanan, padahal tidak. Mencabut TAP MPRS 1966, tentang pelarangan komunis, misalnya. Gus Dur bukanlah seorang komunis, tetapi beliau tidak ingin komunis difitnah oleh oknum-oknum yang terlibat dalam sejarah dan terdzalimi begitu saja.

Tatkala kebanyakan orang meributkan soal pembelaan Indonesia terhadap Palestina, justru Gus Dur menginginkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Cara pandang Gus Dur jauh ke depan, banyak yang tidak mengerti jurus-jurus saktinya.
Tidak ada musuh bagi Gus Dur. Seperti kekejian FPI tidaklah merupakan sebuah perlawanan, justru sebenarnya hukum rimba lah yang berlaku. Hanya moral binatang yang mudah memangsa yang lemah dan tak berdaya.

Bagi seorang Gus Dur, melawan sebuah kemungkaran harus dengan strategi dan tehnik yang teratur dan mengena sasaran. Adagium Arab menyatakan “Man ‘arafa lughata qaumin amina min makrihim”. Terjemahan bebasnya, sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan, bisa dilakukan dengan hal-hal yang menurut kita tak terduga, seperti “melawan dengan lelucon”, hehehe!.

5. Menyikapi Gerakan Formalisasi Syariat, Seperti PKS dan HTI serta Partai-partai Islam
Partai Islam adalah sebuah kendaraan politik. Mungkin kita akan sering memperdebatkan tentang definisi politik itu sendiri. Tapi yang paling penting, eksistensi sebuah partai adalah sarana, bukan tujuan. Walaupun, realita dan fakta di lapangan berkata lain. Justru kendaraan politik yang seharusnya menjadi wasilah (sarana), sering malah menjadi ghayah (tujuan). Sehingga, tujuan mulia dari perjuangan politik menuju kemaslahatan umat sering terabaikan. Ketika terjadi sebuah bencana misalnya, peran partai politik justru memanfaatkan momen tersebut untuk mengapresiasi citra partainya sendiri dan seringkali mengatasnamakan agama atau kemanusiaan.

Meminjam istilah Habib Luthfi bin Yahya, fanatik kita kepada partai tidak lebih dari setinggi lutut kaki, sedangkan fanatik kita kepada bangsa dan negara tidak melebihi pusar, sedangkan fanatik kepada agama dan keyakinan merupakan titik tolak untuk memberikan maslahat bagi sinergi antara hubungan vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun minannas).

Pemaksaan terhadap kepentingan yang dibungkus dengan baju agama sungguh menggiurkan, padahal secara substansial, nilai-nilai agama selalu dapat dimanifestasikan.
Menurut hemat saya, membeli minyak onta cap babi, jauh lebih menyenangkan daripada mengobral minyak babi cap onta. Buktinya, partai-partai Islam hanya mampu memberikan nuansa Islami pada saat-saat tertentu saja. Diharamkannya presiden wanita misalnya, suatu saat keharaman tersebut akan berubah sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Tatkala Megawati menjadi presiden, toh Hamzah Haz yang menjadi representasi partai Islam malah menjadi wakilnya. Baru-baru ini, kasus hebohnya Tifatul Sembiring bersalaman dengan istri Obama dibesar-besarkan, padahal kejadian yang biasa saja.
Perbedaan penafsiran, baik diformalisasikannya syariat atau tidak, biarlah terjadi. Namun, menghakimi orang lain dengan kesesatan atau bahkan menghalalkan darahnya dengan perbuatan anarkis dan kekerasan sungguh tidak etis, apalagi dilakukan oleh seorang Muslim. “Al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi,” kata sebuah hadits. Islam tidak disebarkan dengan pedang, namun disebarluaskan dengan cinta dengan kasih sayang. Dakwah adalah ajakan, bukan ejekan.

Mungkin PKS, HTI, dan lain-lain sedang digandrungi oleh sebagian kalangan, namun rasa kesengsem tersebut hanyalah temporal. Bila kita kaji sejarah, runtuhnya peradaban Islam di Andalusia disebabkan oleh partai yang mengatasnamakan agama. Nuansa cinta kasih sesama dan saling mengabdi satu sama lain, berubah menjadi keinginan untuk menjadi pimpinan yang memegang urusan penting. Agama yang sakral, menjadi tarik ulur sebuah kekuasaan. Begitu juga yang terjadi di Mesir, kasus IM yang banyak memakan korban. Tak heran bila al-Imam al-Akbar Grand Syaikh al-Azhar memiliki program untuk membersihkan al-Azhar University dari unsur-unsur Ikhwanul Muslimun.

Bila kita mau meneladani Gus Dur dalam perbedaan penafsiran, tentu kita tidak akan mudah menghakimi sesat dan kafir. Seperti kasus Mushaddiq yang mengaku nabi, Gus Dur membiarkan dia hidup, dan kebathilan itu akan mati dengan sendirinya tanpa harus diselesaikan dengan anarkisme. Merasa benar sendiri, seolah-olah telah melaksanakan syariat Islam adalah tindakan yang semena-mena. Apa bedanya Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi dengan orang-orang yang merasa dirinya paling benar di sisi Tuhan. Biarlah Islam menjadi agama kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagaimana doa pendiri NW, “Allahummanshur liwa-a Nahdlatil Wathan fil ‘alamin“, saya melihat NU tidak pernah memiliki doa seampuh itu. Tapi, Gus Dur memanifestasikan kasih sayang itu tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Semoga kita bisa meneladani beliau agar Gus Dur hidup kembali spiritnya untuk menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan ruhamatan lil muslimin; rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam.

KEJENIUSAN GUS DUR MEMPROMOSIKAN SAHABATNYA (Oleh : Sila Syahputra.S)

Gus Dur dan Mbah Liem

GUS DUR mengenalkan KH Muslim Rifa'i Imampuro atau yang lebih dikenal dengan Mbah Liem, sebagai Wali Allah. Di obrolan terbatas, di pengajian umum, Gus Dur bilang bahwa Mbah Liem itu wali. Kepada wartawan, Gus Dur juga bilang demikian. Ta syak, khalayak ramai percaya Mbah Liem Wali.

M. Said Budairy pernah bercerita pada saya. Suatu kesempatan, dirinya bertanya tentang kewalian Mbah Liem, langsung kepada Mbah Liem, waktu itu Gus Dur juga ada di tengah-tengah keduanya. Mereka ngobrol santai-santai selepas Magrib, di kantor PBNU.

“Mbah, di mana-mana Gus Dur bilang Sampean Wali. Bagaimana ceritanya?” tanya Budairy, mungkin iseng, mungkin juga serius.
“Hahaha... Sampean diapusi Gus Dur,” jawab Mbah Liem sambil terkekeh-kekeh.
“Lho, saya tanya serius Mbah. Saya juga pengen jadi wali,” desak Budairy. Tawa dia antara mereka makin keras, Gus Dur yang tadinya serius baca majalah pun ikut tertawa.
“Begini Mas Said. Gus Dur pancen jago mempromosikan sahabat-sahabatnya, termasuk mempromosikan saya yang pendek, kurus, ndeso, bahasa Indonesia ora lancar,” Mbah Liem menjelaskan.
“Maksudanya pripun, Mbah?” Budairy tidak paham.
“Maksudnya biar saya terkenal, terangkat derajatku, dilirik orang,” ujar Mbah Liem enteng.
“Kok Gus Dur endak promosiin saya sebagai wali ya?” tanya Budairy sambil tertawa dan melirik Gus Dur.
“Lho, Sampean kan sudah jadi orang. Tinggal di tengah kota, jurnalis senior, aktivis PBNU, koncone okeh,” tambah Mbah Liem kalem. Budairy mantuk-mantuk. Gus Dur masih baca majalah.

Jumat, 21 Oktober 2016

Brunei Gate dan Bulog Gate ; Menolak Lupa (Oleh : Ronny Leung)

Brunei Gate dan Bulog Gate
Menolak lupa

Gus Dur dijatuhkan karena bulloggate dan brunei gate dana sebesar 40 milyar yg sampai skrg tdk dapat dibuktikan.

Bersamaan itu sebelumnya Gus Dur sempat mewacanakan 3 hal

1.Pengambil alihan Freeport
Saat itu Freeport yg akan habis kontraknya diwacanakan utk diambil alih BUMN. Seperti kita ketahui sesuai bocoran wikileaks Freeport,Newmont dll awalnya adalah konsesi dukungan dana dan senjata dari Amerika dan Inggris untuk menjatuhkan Soekarno "yang tdk dapat dikontrol" oleh Soeharto dan Ali Murtopo. Kebijaksanaan berani itu tentu membuat posisi Gus Dur terancam karena harus kita akui atau tidak meskipun Orba sudah tumbang kekuatan politik,media dan dananya masih kuat sebagai kepanjangan tangan kepentingan Amerika.

2.Membuka hubungan diplomatik dengan Israel
Usul kontroversial yg membuat byk pihak marah padahal pembukaan itu memiliki 3 tujuan

a.Gus Dur memberikan prasyarat kpd Israel hubungan diplomatik bersamaan dengan pengakuan kedaulatan Palestina

b.Israel salah satu negara dgn kekuatan dana/ekonomi dan teknologi pertanian/pangan tinggi, Gus Dur menginginkan transfer teknologi utk membangun Indonesia

c.Salah satu sebab hancurnya ekonomi asia thn 98 termasuk yang terparah Indonesia adalah permainan valas taipan yahudi George Soros, harapan Gus Dur dgn dibukanya hub. diplomatik Indonesia bisa belajar dan didukung ketahanan ekonominya.

3.Pengampunan koruptor
Dulu Gus Dur mewacanakan pengampunan utk koruptor2 yg menyimpan dana di luar negeri dg syarat 50% dikembalikan ke negara, 50% dapat mjd miliknya. Wacana ini menimbulkan resistensi kuat politikus2 senayan dan masy. atas nama keadilan.

Terlepas siapa yg benar saya belajar ditengah hiruk pikuk dana siluman DKI ternyata korupsi 40M buat presiden sekelas Indonesia itu termasuk konyol. Dana legal japung gubernur DKI sekarang sebesar 0,8% APBD 120T (1T/tahun), dana itu sebagai konsesi proyek siluman DPRD senilai 12 trilyun setiap tahun, itu dana legal yg ditolak Ahok, itu yg membuat saya yakin dia tdk bersalah Sumber Waras dan reklamasi, logika saja kalau mau korupsi 100 milyar kenapa harus main resiko, tanda tangan saja APBD plus dana silumannya uang 1 trilyun/tahun sah menjadi miliknya.

Salah satu fakta sampai skrg Gus Dur adalah presiden Indonesia yg paling tdk punya uang,sejarah membuktikan bahkan menjadi presiden Gus Dur tetap tdk bisa mewujudkan impiannya menyelesaikan pembangunan pesantren miliknya di Ciganjur, bahkan waktu lengser direkeningnya hanya terdapat 70jt gaji terakhir.

Waktu membuktikan sampai sekarang secara de facto palestina dlm jajahan modern Israel, bayangkan saat itu bila rencana Gus Dur didukung hari ini mungkin anda melihat palestina sebagai negara berdaulat berdiri sejajar dg bangsa lain didunia. Sebuah kesalahan yang dulu membuat dia dicerca tapi sejarah membuktikan sampai sekarang palestina tetap terjajah modern.

Pengampunan dana korupsi, hari ini kita telah membuktikan ide Gus Dur saat itu benar. Terbukti dana2 itu juga disimpan negara2 penerimanya utk membangun sementara kita terus bergulat dg kebangkrutan. Sampai akhirnya Jokowi memberikan solusi tax amnesty . Akhirnya pun kita sekarang mengambil dana itu kembali dengan insentif bayangkan bila tahun 1999 semua dana itu kembali diskon 50% bukankah kita tdk perlu berhutang spt sekarang ?

Sudah terlalu banyak pemimpin benar dijatuhkan karena fitnah agama dan korupsi tapi koruptornya sendiri malah membangun jaringan politik, jaringan media, menguasai dunia maya utk membangun opini.

Sejarah telah memberikan kita pelajaran berharga utk tdk pernah percaya pada golongan,kelompok yang menggunakan isu,fitnah adu domba SARA sebagai alat mereka hanya kepanjangan tangan kekuatan lama yang ingin kembali. Mereka hanya ingin negeri ini terpecah-pecah agar mudah diambil kembali.

Gus Dur berani jujur dan berani beda
Dia berani dihujat dan berani dicerca karena benar
Dan sejarah negeri ini membuktikan bahwa dia benar.

Minggu, 25 September 2016

Gus Dur itu Cermin Kehidupan (Oleh : Sila Syahputra.S)


Mengenang KH. Abdurrahman Wahid

Gus Dur itu cermin kehidupan. Seseorang yang memahami Gus Dur maka terkoreksi dirinya.

Seorang Kiai saat melihat Gus Dur maka merasa peran keagamaannya tak seberapa dibanding Gus Dur.
Seorang Presiden yang memahami Gus Dur maka merasa kenegarawanannya masih jauh dari sempurna.
Saat aktivis demokrasi dan HAM melihat Gus Dur maka ia merasakan kontribusinya masih belum seberapa.
Tokoh-tokoh internasional saat memandang Gus Dur akan merasakan kegigihannya tak sekuat Gus Dur.
Seorang intelektual saat mencerna Gus Dur akan merasakan keilmuannya tak sedalam Gus Dur.
Seseorang yang sedang menapak jalur sufi, saat saksikan Gus Dur akan merasakan dirinya belum terbebas dari kepentingan dunia.
Seorang pejuang rakyat saat mengenal Gus Dur akan merasakan keberaniannya belum sekuat Gus Dur.

Kisah Teladan KH.Abdurrahman Wahid (Oleh :Sila Syahputra.S)

Kisah Teladan KH.Abdurrahman Wahid

Berikut adalah sedikit kisah teladan tentang KH.Abdurrahman yang sering juga disebut Gus Dur.

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)

Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.

Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.
Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.

Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.

Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.
Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :

Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
Pejuang Kebebasan Pers

Senin, 12 September 2016

Laku Suluk Gus Dur (Oleh :Nur Khalik Ridwan)

Laku Suluk Gus Dur

Identitasnya plural. Ada yang menyebutnya sebagai politisi, kiai, budayawan, pelawak, penulis atau pemikir. Itulah Gus Dur.<>

Hebatnya, dalam setiap gelar yang disematkan padanya, memiliki keunikan tersendiri. Sebagai politisi jujur. Sebagai kiai tidak disiplin pakai peci dan sarung. Sebagai budayawan sering berpolitik. Sebagai pelawak tak jarang marahnya keras. Sebagai penulis dan pemikir tidak pernah menuliskan sebuah karya utuh dengan satu tema.

Dari sini tak salah jika tidak sedikit kalangan menyebutnya sebagai orang tak setia, tak konsisten dalam jalurnya. Atau, jangan-jangan kita salah baca, sehingga kita tidak tahu sesungguhnya dilakukan dan dikehendaki Gus Dur selama hidupnya.

Nur Khalik melalui buku ini sebenarnya mencoba menjawab situasi problematis tersebut. Nur Khalik ingin menunjukkan bahwa Gus Dur bukanlah politisi, kiai, budayawan, pelawak, penulis, pemikir, melainkan sufi. Inilah buku mendalami sisi tasawuf, suluk Gus Dur menjadi pusat lakunya memancar dalam wujudnya sebagai politisi, kiai budayawan, pelawak, penulis, pemikir.
Suluk dalam Islam adalah jalan menuju Allah sumber kebenaran. Gus Dur menurut Nur Khalik dalam buku ini adalah seorang salik, pencari dan pencinta Allah. Apa buktinya Gus Dur melakukan suluk, padahal dirinya tidak terdaftar sebagai anggota tarekat?

Ada dua hal utama dijadikan Nur Khalik menunjukan Gus Dur seorang salik meskipun dirinya tidak terdaftar anggota tarekat tertentu. Dua hal tersebut adalah suluknya dalam hal urusan ibadah personal, berhubungan dirinya dengan Allah dan ibadah sosial, menyebarkan rahmat di dunia.

Pertama suluk Gus Dur berkaitan dengan dunia ukhrawi. Itu terlihat dari bagaimana Gus Dur disiplin melakukan wirid, dzikir atau amalan yang biasanya dilakukan kalangan tarekat, seperti dzikir taubat, shalawat, istighashah, ziarah. Gus Dur disiplin mengamalkan dzikir taubat, rutin mengamalkan amalan Al-Fatihah, rutin bershalawat atas Nabi Muhamad SAW.
Gus Dur juga aktivis kuburan. Gus Dur rutin berziarah di Tebuireng, Tambak Beras, makam Ki Ageng Mangir, makam Surya Memesa di Tasikmalaya, makam Kiai Mojo dan masih banyak lagi. Di luar negeri, selain berziarah ke makam Nabi Muhamad, Gus Dur bercerita sering menziarahi makam Syaikh Ali al-Humaidi dan Imam Ghazali.
Gus Dur melakoni ziarah ini dengan sungguh-sungguh. Gus Dur misalnya harus berjalan 3 kilometer, yaitu ke makam Syaikh Abdullah Qutbuddin di Candirejo, dekat puncak Dieng. Dengan kondisi kesehatan fisik yang tidak seperti mereka yang prima, Gus Dur menyempatkan untuk berjalan sejauh itu, yang tentunya tidak di dataran rendah. Dengan melihat ini saja, sudah bisa dibayangkan bahwa keseriusan dan kegigihan Gus Dur untuk berziarah. (153)
Laku suluk Gus Dur itu dikuatkan dasar ibadahnya melaksanakan ibadah syari’at dengan disiplin, seperti ibadah sholat lima waktu. Choirul Anam memberikan kesaksian bagaimana dirinya bersama Gus Dur dan Haji Masnuh berpergian jauh, Gus Dur memperhatikan dan menjalankan shalat, bahkan dalam perjalanan dan kondisi terjadi hujan deras. Ini menjelaskan bahwa dalam kondisi sulit secara manusiawi, di tengah dia sendiri sudah mengalami sakit yang dideritanya, shalat tetap dan harus dijalankan.

Kedua laku suluk Gus Dur di dunia dengan menyebarkan rahmat Allah untuk sesamanya, seperti membantu orang lain, sabar. Tentang laku suka membantu orang yang membutuhkan, Anita Hayatunnufus, salah satu anak Gus Dur, menuturkan, “Saya masih ingat dulu, Bapak itu kan sering kedatangan tamu. Mereka minta bantuan finansial, padahal mereka mampu. Dan kalau saya bilang sama Bapak, “Pak itu ada orang kayaknya mampu kok minta-minta?” jawaban Bapak, “ya biarin aja, itu urusan dia dengan Gusti Allah. Tugas Bapak cuma bantu. Kalaupun dia bohong, ya syukurlah, berarti dia nggak perlu nipu orang lain”.
Gus Dur adalah orang yang sabar dalam menghadapi segala kesulitan dan cacian. Seperti cacian Riziq Syihab kepada Gus Dur yang menyebutnya sebagai “buta mata buta hatinya”.
Menyangkut sabar jenis ini, Gus Dur tidak membalas dengan kekerasan, meskipun itu bisa dilakukan dengan memerintahkan para pengikutnya. Gus Dur malah tersenyum dan mengkampanyekan arti pentingnya dialog, musyawarah, menempuh jalur hukum, dan saling menghargai sebagai akhlak utama seorang Muslim, sebagaimana dicontohkan nabi Muhamad. (174-5)

Gus Dur sebagai seorang salik yang dikemukakan Nur Khalik dalam buku ini dengan berbagai bentuk perilaku, pemikiran dan ibadah ukhrawinya, tidaklah memaksakan khalayak untuk mempercayai bahwa Gus Dur melakukan suluk selama hidupnya. Karena masalah tersebut sulit diukur dengan panca indera, nalar. Masalah suluk hanya bisa dialami, dilakoni, dipercayai.

Persoalannya kemudian apa yang membedakan buku ini dengan buku lainnya yang temanya sejenis, yaitu ke-suluk-an Gus Dur? Mungkin hal itu bisa dijawab dengan latar biografis penulisnya, Nur Khalik Ridwan, bukanlah kiai, hanya santri kultural, beda dengan penulis buku dengan tema sejenis, yang merupakan tokoh spiritual, kiai ataupun rohaniawan. Kemudian Nur Khalik adalah seorang aktivis, pemikir, penulis buku, yang kebanyakan temanya mengenai perjuangan kemanusiaan, keberpihakan pada rakyat kecil, dus, dunia spiritualnya sejauh mana kita tidak mengetahui, walaupun dirinya lulusan Fakultas Syari’at IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jadi adalah tidak relevan pertanyaan apakah Nur Khalik Ridwan representatif menulis tema ke-suluk-an Gus Dur hanya berdasar cinta dan hormatnya pada sosok Gus Dur, terlepas Nur Khalik itu aktivis, penulis, atau bahkan petani, pedagang, penangkar burung.

Terlepas dari itu semua, dari sinilah buku ini memiliki perspektif sendiri dalam memahami sosok Gus Dur, yang tidak terombang-ambing dalam batasan akademis mengenai ketokohannya, entah itu sebagai politisi, budayawan, penulis-pemikir, kiai. Buku ini menunjukan Gus Dur adalah sosok salik, dimana seorang yang melakukan suluk dalam kehidupan dunia bisa menjadi apa saja, entah itu petani, penangkar burung, politisi, budayawan, pemikir, kiai, intinya ia melakukan semua urusan di dunia hanyalah bergantung dan berharap cinta Allah.

Rabu, 31 Agustus 2016

Joget Udara Tak Terasa (Oleh :Sila Syahputra S)

Kami mampir ke Abu Dhabi, UEA, sebelum mengikuti KTT OKI di Doha, Qatar. Saya gelisah karena media massa dan para politisi di tanah air sedang ramai meributkan biaya perjalanan luar negeri Presiden yang konon selama satu setengah tahun masa kepresidenan telah menghabiskan 52 milyar rupiah. Tapi dari diplomasi dalam kunjungan sehari itu, Presiden berhasil memperoleh komitmen dari Penguasa UEA, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, berupa bantuan hibah sebesar 200 juta dollar Amerika untuk Indonesia. Saya semprotkan berita itu kepada teman-teman wartawan,

“Kalian ributkan 52 milyar, ini baru satu tempat saja sudah dapat 200 juta dollar!”
Mereka cuma nyengir. Dan gugatan riuh-rendah tentang “pemborosan” 52 milyar itu tidak berhenti. Dan hibah 200 juta dollar itu tak sehuruf pun muncul dalam berita media massa.
Karena gugatan pemborosan itu, pada lawatan berikutnya ke Australia, rombongan Presiden tidak menyewa Boeing 737 milik GIA seperti biasanya, tapi meminjam Boeing 707, pesawat tua milik TNI. Walaupun tua, pesawat itu masih kelihatan gagah dan lebih gemuk ketimbang milik GIA. Take-off-nya mulus. Dan setelah berada di udara, tak terasa lagi bedanya dari pesawat baru.

Para penumpang bercengkerama menunggu akhir perjalanan, yakni Canberra, ibu kota Australia. Tapi, beberapa saat menjelang masuk kawasan udara Australia, pesawat tiba-tiba oleng. Seluruh penumpang menjerit. Pramugari berusaha menenangkan, tapi gagal menyembunyikan roman ngeri dari wajahnya sendiri. Pilot kemudian menjelaskan persoalan: pesawat tua itu bermesin ganda di setiap sayapnya, salah satu mesin di sayap kiri macet sehingga pesawat jadi tidak seimbang.
“Tak perlu kuatir”, kata pilot, “kita akan berusaha bertahan sampai Darwin, dan mendarat darurat disana. Harap berdoa menurut keyakinan masing-masing”.

Selanjutnya pesawat bagai menari-nari terbangnya, karena salah satu mesin di sayap kanan harus dimatikan (untuk mempertahankan keseimbangan) lalu dihidupkan lagi (untuk mempertahankan ketinggian) bolak-balik. Kabin pesawat senyap. Para penumpang tidak berjarak dari Tuhan.

Sekitar dua setengah jam seperti itu, sebelum akhirnya mendarat dengan selamat di bandara Darwin. Bersalaman dengan Presiden, pejabat setempat yang menyambut memperkenalkan diri,
“George Brown, Wali Kota Darwin”.
Presiden nampak heran, tapi tak berkata apa-apa.
Di ruang VVIP, Presiden berbisik kepada Wimar Witoelar,
“Kok malah Wali Kota Darwin? Lha John Howard-nya mana?”
“Lhah kita kan memang turun di Darwin, Gus!”
“Lho? Bukannya Canberra?”

Rupanya Presiden tidak tahu bahwa pesawat mendarat darurat di Darwin, bahkan sama sekali tidak menyadari kerusakan mesin dan joget udara dua setengah jam, karena beliau tidur dengan lelap sekali! Pemerintah Australia meminjamkan dua pesawat jet kecil untuk mengangkut rombongan Presiden melanjutkan perjalanan ke Canberra.

KISAH DIBALIK NAMA MBAH DUR DAN GUS DUR (Oleh : Sila Syahputra S)

Nama “Abdurrahman” bukanlah nama yang sulit dijumpai di sekeliling kita. Selain nama yang memang disunnahkan karena penggabungan antara kata “عبد (hamba)” dengan salah satu asmaul husna. Akan tetapi di kalangan pesantren nama tersebut khas sekali dengan dua tokoh ulama yang tidak asing di telinga. Abdurrahman Wahid (1940-2009) yang akrab dengan “Gus Dur”, dan Abdurrahman Chudlori (1944-2011) yang familiar dengan panggilan “Mbah Dur”.
Diantara Mbah Dur dan Gus Dur ternyata bukan hanya kesamaan atau kemiripan nama belaka, ada kisah dibalik pemberian nama yang sama antara kedua orang tua mereka. Mbah Dur adalah putra pertama dari Mbah KH. Chudlori (wafat 1977) dan Gus Dur putra dari KH. Wahid Hasyim (1914-1953).

Kyai Chudlori muda merupakan figur santri sejati dengan semangatnya mencari ilmu ke berbagai pesantren di nusantara, salah satunya di Tebuireng yang didirikan oleh Hadratusyiakh KH Hasyim As’ari. Di pesantren inilah Kyai Chudlori muda berteman dekat dengan Kayai Wahid Hasyim putra Mbah Hasyim Asy’ari.

Menurut cerita yang berkembang, konon antara Kyai Chudlori muda dan Kyai Wahid Hasyim bersepakat jika kelak mereka berdua mempunyai anak laki-laki maka diantara salah satunya akan diberi nama yang sama yaitu “Abdurrahman”.

Syahdan, setelah beberapa tahun Kyai Chudlori dan Kyai Wahid Hasyim berpisah, mereka berdua sama-sama mempunyai anak laki-laki dan akhirnya pun diberi nama sesuai apa yang mereka inginkan ketika masih sama-sama di pesantren. Kyai Chudlori memberi nama puteranya Abdurrahman Chudlori dan kyai Wahid Hasyim menamai puteranya Abdurrahman Wahid.
Bukan hanya nama yang sama, Gus Dur pun dipondokkan di pesantren teman ayahnya di Tegalrejo Magelang pada tahun 1957-1959 untuk mendapatkan ilmu dari Kyai Chudlori.
Dari situlah selain hubungan dzahir, Gus Dur sangat erat sekali komunikasi batin dengan Pesantren Tegalrejo. Ketika Gus Dur masih hidup hampir setiap tahunnya beliau selalu diundang dan hadir saat acara akhirus sanah di Tegalrejo.

Hingga saat ini pun hubungan itu masih terasa dimana perjuangan Gus Dur dalam memperjuangkan toleransi dan pluralisme juga diikuti dan diteruskan oleh KH. Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) putera terakhir dari Kyai Chudlori.

Minggu, 07 Agustus 2016

Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Oleh :KH Abdurrahman Wahid)

Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. <>Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

***

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

***

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).

Beberapa Sisi Teladan Dari Gus Dur (Oleh :Ronny Leung)

Beberapa Sisi Teladan Dari Gus Dur
(Oleh :Ronny Leung)

Belajar ketokohan dari sosok Gus Dur dalam hidupnya kita akan menemui beberapa sisi yang patut kita contoh dalam kehidupan kita

1.Humoris
Sudah menjadi trend mark Gus Dur itu seorang yang mudah bergaul dan berwawasan luas, ciri khasnya adalah humor. Humor menjadi senjata pamungkasnya sehingga tokoh-tokoh yang terkenal kaku pun bisa tertawa terbahak-bahak bersamanya contoh Raja Fahd dari Saudi, Fidel Castro,Kuba dll
2.Rendah Hati
Gus Dur adalah sosok yang humble, membumi terhadap siapapun baik seorang presiden sampai penjual duren menjadi saksi atas kerendahan hati yang luar biasa  dari keturunan biru pendiri bangsa ini.
3.Logis
Beberapa pikiran dari Gus Dur selalu menjadi kontroversi pada jamanya, dia sering dianggap nyeleneh termasuk gagasannya tentang pluralisme yang dituduh sesat dan liberal saat itu tapi waktu membuktikan bahwa ternyata pluralisme sama spt Bhinneka Tunggal Ika, persatuan dalam perbedaan yang memang harus kita miliki sebagai bangsa yang majemuk Indonesia ini. Gus Dur membawa perubahan besar dalam berpikir bangsa ini. Bangsa yang sebelumnya feodalistik, terpecah-pecah karena saling curiga dan adu domba menjadi sadar dan bersatu menjadi masyarakat yg logis
Gaya pemikiran Gus Dur karena diwariskan dari kakeknya HadratusSyaikh Hasyim Asyari'i termasuk salah satu orang cerdas bangsa ini, ayahnya seorang kyai dan diplomat, ibunya seorang yang berpikiran modern membentuk Gus Dur menjadi sosok logis,kritis dan terbuka.
4. Berani Beda
Salah satu hal yang paling menonjol dari Gus Dur berani melakukan apa yang diucapkannya meskipun kadang itu merugikannya. Dia berani menentang pendapat umum karena benar. Mungkin salah satu tokoh di era Orba yang paling berani menentang penguasa saat itu adalah Gus Dur, gayanya yang arif dan tidak frontal kadang cenderung diplomatis membuat pemimpin saat itu yg otoriter mati kutu.
5.Murah Hati
Sisi yang patut dikagumi pada Gus Dur salah satunya karena keberaniannya berkorban untuk orang lain, bangsa dan negaranya. Bahkan mungkin dalam kenyataan negeri ini salah satu presiden yang tidak menjadi konglomerat setelah menjadi presiden negeri ini mungkin Gus Dur. Hal itu sering dilakukannya sejak jaman masih muda sering dia memberikan miliknya untuk kebahagian orang lain

Mungkin masih banyak sisi lain yang bisa kita kupas dari tokoh seperti Gus Dur ini, seorang yang humoris, rendah hati, logis, berani beda dan murah hati. Semoga kita dapat meneladani sosok ini bersama dan mulai membuat perubahan pada sekeliling kita

Islam Dan Fungsi Keadilan ( Oleh: KH. Abdurrahman Wahid )

Islam Dan Fungsi Keadilan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa
(nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini. Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk
konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in
kuntum laa ta’lamuun).

Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).

*****

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara. Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih
oleh seluruh warga bangsa. Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat
dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang
pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.

*****

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an
menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam
adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena. Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti
penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan kenyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum?

Sederhana bukan?