Minggu, 18 Desember 2016

KH Abdurrahman Addakhil (Wahid), Sebuah Teladan (Oleh : Ronny Leung)

Keluarga Gus Dur

Nama almarhum Gus Dur yang sebenarnya adalah Abdurrahman “Addakhil”. Secara leksikal, “Addakhil” mempunyai arti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang  menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup diketahui orang dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan lalu lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik.

Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.

Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ .

Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur. Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.

Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya.

Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.

Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970.

Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.

Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).

Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.

Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal.

Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.

Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur.

Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.


Penghargaan

  • Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
  • Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
  • Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
  • Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
  • Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
  • Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000

  • Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
  • Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
  • Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
  • Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
  • Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
  • Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
  • Medals of Valor, sebuah penghargaan bagi personal yang gigih memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme, diberikan oleh Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM dan toleransi antarumat beragama), New York, 5 Maret 2009.
  • Penghargaan nama Abdurrahman Wahid sebagai salah satu jurusan studi Agama di Temple University, Philadelphi, 5 Maret 2009.
  • Serta berbagai macam  penghargaan-penghargaan lainnya…

Rabu, 14 Desember 2016

MBAH WALI GUS DUR DIWAWANCARA DI TEMPAT YANG BERBEDA DI WAKTU YANG SAMA ( Oleh : Shuniyya Ruhama)

MBAH WALI GUS DUR DIWAWANCARA DI TEMPAT YANG BERBEDA DI WAKTU YANG SAMA

Pada tahun 2009, ketika Shuniyya masih menjadi executive editor di salah satu Majalah Nasional, terjadi peristiwa aneh bin ajaib tentang sosok Mbah Wali Gus Dur.

Pada saat itu, ada dua wartawan “berantem” seru sekali dan saling membela diri bahwa merekalah yang benar. Satu sama lain benar-benar tidak mau mengalah. Pusing deh... Wartawan A menunjukkan bukti berupa foto dan rekaman wawancara dengan Mbah Wali di Surabaya pada jam 12.00.  Di waktu yang sama, wartawan B juga melakukan wawancara dengan Mbah Wali di Gresik dengan menunjukkan bukti foto dan catatan wawancara yang dilakukan pada hari dan tanggal yang saja, jam 12.30.

Bukankah Surabaya – Gresik tidak mungkin ditempuh dalam waktu 30 menit apalagi pasti ada sambutan dulu dari tuan rumah, dan selesai acara beliau tidak langsung meninggalkan lokasi. Belum lagi kalau siang hari lalu lintas Surabaya dipastikan macet sekali?

Mendengar hal tersebut, hati Shuniyya hanya mampu berdesir, “Subhanallah... subhanallah... inna awliyaa Allahi la khoufun ‘alayhim walaa hum yahzanuun..”Ini salah satu point diantara banyak faktor mengapa beliau disebut Mbah Wali. Salam cinta Mbah Wali Gus Dur.

Ila hadroti ruhi Simbah Wali KH Abdurrahman Wahid wa dzurriyatihi wa furu’ihi wa silsilatihi wa muridihi wa muhibbihi ya Allah... wa muhibbihi ya Allah... wa muhibbihi ya allah syai-un lillahu lana wa lahum Al Fatihah....

Shuniyya Ruhama H

14 Desember 2016

Kamis, 27 Oktober 2016

Somsing ... Somsing ... eh Some Sing (Oleh:Sila Syahputra.S)

Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke kediaman KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang, Jawa Tengah. Didampingi istrinya Ny Sinta Nuriyah dan putrinya, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny).

Gus Dur tiba di rumah Gus Mus di kompleks Pondok Pesantren Roudlatut Tholibien, Rembang, Kamis (2/11/2006) pukul 09.00 WIB. Selain disambut Gus Mus sebagai tuan rumah, mantan ketua umum PB NU itu disambut Ketua PC NU Pati KH Muadz Thohir; mantan juru bicara Gus Dur, Yahya Cholil Staquf; serta istri Gus Mus, Siti Fatma.

Gus Dur mengakui bahwa dirinya dan Gus Mus adalah sahabat lama. Namun, belakangan, karena repot dengan urusan masing-masing, dirinya dan Gus Mus jarang bertemu. "Jadi, ini pertemuan kangen-kangenan. Maksud saya ke sini ya untuk silaturahmi. Kebetulan, saya punya undangan halalbihalal di Jepara. Jadi, sekalian mampir," ungkap Gus Dur.

Sementara itu Gus Mus menyatakan pertemuan mereka ini sebagai pertemuan dua orang yang benar-benar manusia. "Kami seperti tadi yang didengar semuanya, hanya ngobrol sebagai manusia saja. Karena terkadang saking sibuknya dengan pekerjaan, kita lupa bahwa kita ini manusia. Yang dibicarakan hanya permasalahan profesi dan lain-lainnya. Pada pertemuan silaturahim ini, kami empan papan dan tidak membicarakan masalah politik," kata Gus Mus.

Memang, kenyataannya dalam pertemuan keduanya di salah satu ruangan Ponpes Raudlatut Thalibin berukuran tak kurang dari 5x12 meter berkarpet hijau itu lebih banyak berkisar cerita-cerita ringan seputar kehidupan sehari-hari dan canda tawa. Tak jarang, cerita kedua tokoh yang sedang temu kangen itu membuat tawa sejumlah orang yang turut mendengarkan. Tak lupa, mereka berdua bertukar cendera mata. Gus Dur memberikan cendera mata berupa buku terbarunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi kepada Gus Mus. Sementara itu, Gus Mus memberikan buku Gandrung dan Lukisan Kaligrafi kepada Gus Dur.

Dalam pertemuan itu, Gus Dur mengenang semasa kuliah di Universitas Al Azhar, keduanya berkumpul setiap hari selama hampir tiga tahun. Keduanya kemudian bergulat dalam Himpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia (HPPI) Mesir.

"Saya dan Gus Mus membuat majalah yang ditulis sendiri, dibiayai sendiri, dan diedarkan sendiri. Selalu juga merugi sendiri," kata Ketua Dewan Syura DPP PKB itu.

Gus Mus muda, kenang kiai kelahiran Jombang 4 Agustus 1940 itu adalah orang yang memiliki banyak teman bergaul. Salah satu teman Gus Mus, menurut mantan Presiden RI itu, adalah Abdullah Syukri (Pimpinan Ponpes Gontor -red). Suatu hari, Abdullah Syukri yang pintar main gitar tersebut, kata Gus Dur, naksir cewek Filipina. Abdullah Syukri kemudian mencoba menyanyi untuk meraih hati cewek tersebut.

"Gus Mus ini, setelah Abdullah Syukri menyanyi, nyeletuk somsing-somsing. Eh nggak tahunya yang dimaksud adalah some sing," tutur Gus Dur yang ditimpali Gus Mus dengan tawa.

Gus Dur di Mata Tuan Guru KH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Oleh : Sila Syahputra.S)

Tampak dalam foto adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid di Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu. Di mata Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru
yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama yaitu Syaikh Amin al-Kutbi. (Baca : Biografi lengkap TGKH. Zainuddin Abdul Majid )

Berikut ini adalah hasil sebuah wawancara tentang Gus Dur (NU) dengan TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Pendiri PWK-NW/Perwakilan Khusus Nahdhatul Wathan), Mesir. Beliau adalah kandidat Master The American Open University, in Cairo. Beliau seorang intlektual muda dan kiyai ternama, penulis buku “Sabda Sufistik”, lahir di Saudi Arabia, dan pernah dianugerahi shalat di dalam Kakbah, karena termasuk pelajar yang berprestasi.

1. Sosok Gus Dur, Pendekar Bangsa yang Agamis
Gus Dur sebagai anak kandung tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam tulisan tinta sejarah, Kyai Wahid banyak sekali memberikan ide-ide brilian, diantaranya “menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta”, bersama KH. Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.
Di sini jelas, bahwasanya bapak Gus Dur sebagai mantan Menteri Agama di era 40-an, sudah menggulirkan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini, karena Indonesia adalah negara Islam secara substansial namun nasionalis secara formal. Dari keberanian KH. Wahid Hasyim, banyak pihak yang tidak menyukainya. Sehingga tak heran bila beliau meninggal karena diakibatkan kecelakaan, yang diduga akibat ulah musuh-musuh politiknya untuk melenyapkannya.
Dari silsilah kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. Hasim Asy’ari, seorang tokoh kharismatik sepanjang sejarah Nahdlatul Ulama yang mampu mengumpulkan kiyai-kiyai untuk menyelamatkan nasionalisme bangsa ini, tanpa meninggalkan tradisi dan ideologi sebagai seorang muslim dan kiyai kharismatik. Tak heran, bila Bung Karno dan Bung Tomo sering meminta petunjuk dari beliau sebelum melangkah mewarnai hitam putih bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November yang dijadikan sebagai hari pahlawan, sebenarnya berawal dari tradisi memperingati jasa para pahlawan yang ada dalam NU setiap tahun, atau yang disebut dengan haul.
Apabila ditarik ke belakang, Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi makam Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional.
Dari beberapa hal yang saya sebutkan di atas, Gus Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil; seorang penakluk, yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya, Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.

2. Sumbangsih Gus Dur bagi Bangsa
Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa? Coba Anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisionalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progresif bagi bangsa Indonesia, tapi diakui oleh dunia internasional. Diantaranya, tokoh-tokoh barat banyak yang tertarik untuk mengkaji Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sekarang, tidak hanya dibatasi dengan literatur-literatur lokal tetapi juga turut mewarnai ensiklopedia internasional.

Di sisi lain, kaum non-Muslim banyak yang menganggap Gus Dur adalah sang penyelamat. Karena Gus Dur tidak hanya seorang Muslim yang berjuang untuk orang-orang Islam saja, tapi juga memusnahkan ketertindasan yang dialami orang-orang non-Muslim di Indonesia, seperti orang-orang Cina yang dilarang untuk merayakan hari raya Imlek dan orang-orang Kristen yang selalu dianggap sebagai kaum yang layak untuk diperangi.

Al-Quran menyebutkan: “Walan tardha ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millatahum”, ayat tersebut diaktualisasikan dalam tafsir sang Abdurrahman Wahid sebagai keyakinan terhadap identitas agama masing-masing. Jadi, bukan orang Yahudi dan Nasrani yang membenci Muslim, lantas harus diperangi, tapi seorang Muslim harus berani bersaing sehat dengan Yahudi dan Nasrani untuk mengembangkan ajaran Islam. Kenapa kita harus takut dengan Kristenisasi dan Yahudisasi, sementara kita sendiri berlomba-lomba untuk melakukan Islamisasi. Islam adalah agama universal, keberadaannya untuk mengayomi alam semesta, sebagaimana Rasulullah diutus bukan untuk memerangi orang-orang kafir, tapi untuk menyelamatkan mereka dari penyakit kekufuran.
Kaum minoritas tidak disingkirkan oleh Gus Dur, tapi diberikan hak hidup dan dibebaskan untuk menentukan pilihannya. Saya jadi teringat Jendral Thariq bin Ziyad tatkala menaklukkan Andalusia. Penaklukan-penaklukan (futuhat) yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Islam tempo dulu, untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan, bukan agar mereka memeluk agama Islam dan menjalankan syariatnya.
Tak heran bila dikenal istilah kafir dzimmi dalam literatur hukum Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Man adza dzimmiyyan faqad adzani.” Artinya, siapa yang memusuhi non-Muslim atau kelompok minoritas yang dilindungi oleh bangsa dan negara, berarti memusuhi Rasulullah Saw.

3. Ide-ide Gus Dur dalam Mencerahkan NW di Mesir dan di Indonesia.
Berawal dari titik tolak NW di NTB yang eksklusif, saya ingin menjadikan NW tetap pada khittahnya, namun bersifat inklusif. Sehingga saya dan teman-teman mencoba menggagas kajian al-Abrar yang kemudian menjadi PwK-NW (Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan). Sebab, sebagai negara yang bebas, banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang kadang-kadang tertutup cara berfikirnya dan picik pandangannya. Namun, tak sedikit dari mereka yang kebablasan dan liberal.
Nah, Gus Dur sebagai tokoh moderat yang pernah belajar di Mesir sudah sepatutnya menjadi figur yang bisa menjadikan NW dalam garis moderat (wasathiyah). Kenapa saya katakan moderat? Karena Gus Dur selalu hadir sebagai penyeimbang, tatkala kebanyakan orang berbondong-bondong menuju arah kanan, Gus Dur mengingatkan arah kiri, dan sebaliknya. Jadi, bagi saya itu bukan sesuatu yang nyleneh, tapi merupakan stabilisasi keadaaan agar tidak timpang dan carut-marut. Selama masih berpegang kepada apa yang kita yakini, kenapa tidak?
NW di Indonesia, sering mengalami krisis gaya berfikir yang modern, dengan menafikan pihak lain. Padahal, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid sebagai pendiri NW menamakannya dengan kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan), bukan kebangkitan pribadi atau golongan. Cara berfikir yang sempit, tentu akan mempengaruhi dalam prilaku keseharian dan interaksi sosial.
Apa yang saya alami tatkala memberikan taushiyah atau khutbah di salah satu masjid tentang NW, padahal realitanya pengurus masjid tersebut adalah orang-orang NU, ternyata dianggap tabu. Tentu, saya khawatir tatkala ingin mengambil teladan tokoh NU di kalangan orang-orang NW. Sungguh cara berinteraksi sosial yang perlu dirubah.

Soal suksesi kepemimpinan, sudah selayaknya NW berkembang secara organisasi, sekaliber NU dan Muhammadiyah. Bila kepemimpinan NW disyaratkan harus pewaris secara biologis, berarti sang pemimpin tersebut harus memiliki kapabilitas. Sebagaimana dicontohkan TGH. M. Zainul Majdi sebagai pimpinan NW sekarang dan terpilih menjadi Gubernur NTB. Sebuah organisasi yang sehat, bukanlah sebuah kerajaan yang diwarisi oleh para pangeran, namun “the right man in the right place”.
Sementara meneladani Gus Dur dari sisi ideologi, harus dipandang dengan pikiran terbuka dan wawasan yang luas, sebagaimana beliau sering mnyitir kaidah fikih “Tasharruful imam ‘alarra’iyyah manuthun bil mashlahah”. Artinya, apa yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai sang pendobrak, selalu memberikan maslahat atau kebaikan bagi orang lain, walaupun sering tidak difahami oleh kebanyakan orang. Dengan catatan, keterbukaan ideologis yang revolusioner tetap pada khittah organisasi dan tidak menyimpang.
Ironi, ketika pengikut setia Nahdlatul Wathan malah menjadi aktifis PKS atau FPI, bahkan HTI dan lain-lain. Karena, Nahdlatul Wathan sebagai penganut nilai-nilai sufistik, sangat berbeda 180 drajat dengan kelompok-kelompok yang saya sebutkan tadi.

4. Teladan Gus Dur
Gus Dur adalah sosok nasionalis sejati, tidak hanya harta dan benda yang beliau korbankan untuk bangsa dan negara ini, namun beliau sering lupa akan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Pernah terjadi tatkala beliau menjadi presiden, dokter kepresidenan kebingungan, karena beliau kencing darah. Tapi ternyata beliau menanggapi dengan enteng dan santainya: “Saya yang kencing darah, kok kalian yang repot..!!”
Sebuah kepribadian yang patut kita contoh karena sangat perduli terhadap kemaslahatan orang lain, bangsa dan negara, hingga tidak menghiraukan dirinya sendiri.

Gus Dur adalah seorang pengamal tarekat, Kiyai Sonhaji dari Kebumen yang menjadi mursyid tarekatnya, banyak memberikan pencerahan terhadap dimensi spiritualnya. Seperti memaknai hadits “Tabassumuka ‘ala wajhi akhika kashshadaqah”, tidak hanya diartikan secara tekstual, dengan kata lain, senyum adalah sedekah. Akan tetapi, hakikatnya, senyum adalah sebuah wujud solidaritas kepedulian seseorang terhadap orang lain.

Manifestasi nasionalisme Gus Dur adalah cerminan seseorang yang selalu menyempurnakan imannya, karena hubbul wathan minal iman. Di sisi lain, Gus Dur sering dihujat karena keyakinannya untuk membela yang lemah dan teraniaya, seperti membela Ahmadiyah yang secara undang-undang tidak bisa dilarang dan diusir dari bumi Indonesia, walaupun secara ideologi, Gus Dur bukanlah seorang Ahmadiyah. Tuduhan Syiah, sesat, antek Zionis, dan sebagainya sering diterimanya dengan lapang dada. “Gitu aja kok repot” balasan santainya yang masyhur di antara kita.
Privasi antara hamba dengan Tuhannya, bagi Gus Dur tidak dapat diganggu gugat. Bahkan Gus Dur tidak segan-segan untuk melawan arus kelompok yang seolah-olah melakukan perlawanan, padahal tidak. Mencabut TAP MPRS 1966, tentang pelarangan komunis, misalnya. Gus Dur bukanlah seorang komunis, tetapi beliau tidak ingin komunis difitnah oleh oknum-oknum yang terlibat dalam sejarah dan terdzalimi begitu saja.

Tatkala kebanyakan orang meributkan soal pembelaan Indonesia terhadap Palestina, justru Gus Dur menginginkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Cara pandang Gus Dur jauh ke depan, banyak yang tidak mengerti jurus-jurus saktinya.
Tidak ada musuh bagi Gus Dur. Seperti kekejian FPI tidaklah merupakan sebuah perlawanan, justru sebenarnya hukum rimba lah yang berlaku. Hanya moral binatang yang mudah memangsa yang lemah dan tak berdaya.

Bagi seorang Gus Dur, melawan sebuah kemungkaran harus dengan strategi dan tehnik yang teratur dan mengena sasaran. Adagium Arab menyatakan “Man ‘arafa lughata qaumin amina min makrihim”. Terjemahan bebasnya, sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan, bisa dilakukan dengan hal-hal yang menurut kita tak terduga, seperti “melawan dengan lelucon”, hehehe!.

5. Menyikapi Gerakan Formalisasi Syariat, Seperti PKS dan HTI serta Partai-partai Islam
Partai Islam adalah sebuah kendaraan politik. Mungkin kita akan sering memperdebatkan tentang definisi politik itu sendiri. Tapi yang paling penting, eksistensi sebuah partai adalah sarana, bukan tujuan. Walaupun, realita dan fakta di lapangan berkata lain. Justru kendaraan politik yang seharusnya menjadi wasilah (sarana), sering malah menjadi ghayah (tujuan). Sehingga, tujuan mulia dari perjuangan politik menuju kemaslahatan umat sering terabaikan. Ketika terjadi sebuah bencana misalnya, peran partai politik justru memanfaatkan momen tersebut untuk mengapresiasi citra partainya sendiri dan seringkali mengatasnamakan agama atau kemanusiaan.

Meminjam istilah Habib Luthfi bin Yahya, fanatik kita kepada partai tidak lebih dari setinggi lutut kaki, sedangkan fanatik kita kepada bangsa dan negara tidak melebihi pusar, sedangkan fanatik kepada agama dan keyakinan merupakan titik tolak untuk memberikan maslahat bagi sinergi antara hubungan vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun minannas).

Pemaksaan terhadap kepentingan yang dibungkus dengan baju agama sungguh menggiurkan, padahal secara substansial, nilai-nilai agama selalu dapat dimanifestasikan.
Menurut hemat saya, membeli minyak onta cap babi, jauh lebih menyenangkan daripada mengobral minyak babi cap onta. Buktinya, partai-partai Islam hanya mampu memberikan nuansa Islami pada saat-saat tertentu saja. Diharamkannya presiden wanita misalnya, suatu saat keharaman tersebut akan berubah sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Tatkala Megawati menjadi presiden, toh Hamzah Haz yang menjadi representasi partai Islam malah menjadi wakilnya. Baru-baru ini, kasus hebohnya Tifatul Sembiring bersalaman dengan istri Obama dibesar-besarkan, padahal kejadian yang biasa saja.
Perbedaan penafsiran, baik diformalisasikannya syariat atau tidak, biarlah terjadi. Namun, menghakimi orang lain dengan kesesatan atau bahkan menghalalkan darahnya dengan perbuatan anarkis dan kekerasan sungguh tidak etis, apalagi dilakukan oleh seorang Muslim. “Al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi,” kata sebuah hadits. Islam tidak disebarkan dengan pedang, namun disebarluaskan dengan cinta dengan kasih sayang. Dakwah adalah ajakan, bukan ejekan.

Mungkin PKS, HTI, dan lain-lain sedang digandrungi oleh sebagian kalangan, namun rasa kesengsem tersebut hanyalah temporal. Bila kita kaji sejarah, runtuhnya peradaban Islam di Andalusia disebabkan oleh partai yang mengatasnamakan agama. Nuansa cinta kasih sesama dan saling mengabdi satu sama lain, berubah menjadi keinginan untuk menjadi pimpinan yang memegang urusan penting. Agama yang sakral, menjadi tarik ulur sebuah kekuasaan. Begitu juga yang terjadi di Mesir, kasus IM yang banyak memakan korban. Tak heran bila al-Imam al-Akbar Grand Syaikh al-Azhar memiliki program untuk membersihkan al-Azhar University dari unsur-unsur Ikhwanul Muslimun.

Bila kita mau meneladani Gus Dur dalam perbedaan penafsiran, tentu kita tidak akan mudah menghakimi sesat dan kafir. Seperti kasus Mushaddiq yang mengaku nabi, Gus Dur membiarkan dia hidup, dan kebathilan itu akan mati dengan sendirinya tanpa harus diselesaikan dengan anarkisme. Merasa benar sendiri, seolah-olah telah melaksanakan syariat Islam adalah tindakan yang semena-mena. Apa bedanya Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi dengan orang-orang yang merasa dirinya paling benar di sisi Tuhan. Biarlah Islam menjadi agama kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagaimana doa pendiri NW, “Allahummanshur liwa-a Nahdlatil Wathan fil ‘alamin“, saya melihat NU tidak pernah memiliki doa seampuh itu. Tapi, Gus Dur memanifestasikan kasih sayang itu tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Semoga kita bisa meneladani beliau agar Gus Dur hidup kembali spiritnya untuk menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan ruhamatan lil muslimin; rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam.

KEJENIUSAN GUS DUR MEMPROMOSIKAN SAHABATNYA (Oleh : Sila Syahputra.S)

Gus Dur dan Mbah Liem

GUS DUR mengenalkan KH Muslim Rifa'i Imampuro atau yang lebih dikenal dengan Mbah Liem, sebagai Wali Allah. Di obrolan terbatas, di pengajian umum, Gus Dur bilang bahwa Mbah Liem itu wali. Kepada wartawan, Gus Dur juga bilang demikian. Ta syak, khalayak ramai percaya Mbah Liem Wali.

M. Said Budairy pernah bercerita pada saya. Suatu kesempatan, dirinya bertanya tentang kewalian Mbah Liem, langsung kepada Mbah Liem, waktu itu Gus Dur juga ada di tengah-tengah keduanya. Mereka ngobrol santai-santai selepas Magrib, di kantor PBNU.

“Mbah, di mana-mana Gus Dur bilang Sampean Wali. Bagaimana ceritanya?” tanya Budairy, mungkin iseng, mungkin juga serius.
“Hahaha... Sampean diapusi Gus Dur,” jawab Mbah Liem sambil terkekeh-kekeh.
“Lho, saya tanya serius Mbah. Saya juga pengen jadi wali,” desak Budairy. Tawa dia antara mereka makin keras, Gus Dur yang tadinya serius baca majalah pun ikut tertawa.
“Begini Mas Said. Gus Dur pancen jago mempromosikan sahabat-sahabatnya, termasuk mempromosikan saya yang pendek, kurus, ndeso, bahasa Indonesia ora lancar,” Mbah Liem menjelaskan.
“Maksudanya pripun, Mbah?” Budairy tidak paham.
“Maksudnya biar saya terkenal, terangkat derajatku, dilirik orang,” ujar Mbah Liem enteng.
“Kok Gus Dur endak promosiin saya sebagai wali ya?” tanya Budairy sambil tertawa dan melirik Gus Dur.
“Lho, Sampean kan sudah jadi orang. Tinggal di tengah kota, jurnalis senior, aktivis PBNU, koncone okeh,” tambah Mbah Liem kalem. Budairy mantuk-mantuk. Gus Dur masih baca majalah.

Jumat, 21 Oktober 2016

Brunei Gate dan Bulog Gate ; Menolak Lupa (Oleh : Ronny Leung)

Brunei Gate dan Bulog Gate
Menolak lupa

Gus Dur dijatuhkan karena bulloggate dan brunei gate dana sebesar 40 milyar yg sampai skrg tdk dapat dibuktikan.

Bersamaan itu sebelumnya Gus Dur sempat mewacanakan 3 hal

1.Pengambil alihan Freeport
Saat itu Freeport yg akan habis kontraknya diwacanakan utk diambil alih BUMN. Seperti kita ketahui sesuai bocoran wikileaks Freeport,Newmont dll awalnya adalah konsesi dukungan dana dan senjata dari Amerika dan Inggris untuk menjatuhkan Soekarno "yang tdk dapat dikontrol" oleh Soeharto dan Ali Murtopo. Kebijaksanaan berani itu tentu membuat posisi Gus Dur terancam karena harus kita akui atau tidak meskipun Orba sudah tumbang kekuatan politik,media dan dananya masih kuat sebagai kepanjangan tangan kepentingan Amerika.

2.Membuka hubungan diplomatik dengan Israel
Usul kontroversial yg membuat byk pihak marah padahal pembukaan itu memiliki 3 tujuan

a.Gus Dur memberikan prasyarat kpd Israel hubungan diplomatik bersamaan dengan pengakuan kedaulatan Palestina

b.Israel salah satu negara dgn kekuatan dana/ekonomi dan teknologi pertanian/pangan tinggi, Gus Dur menginginkan transfer teknologi utk membangun Indonesia

c.Salah satu sebab hancurnya ekonomi asia thn 98 termasuk yang terparah Indonesia adalah permainan valas taipan yahudi George Soros, harapan Gus Dur dgn dibukanya hub. diplomatik Indonesia bisa belajar dan didukung ketahanan ekonominya.

3.Pengampunan koruptor
Dulu Gus Dur mewacanakan pengampunan utk koruptor2 yg menyimpan dana di luar negeri dg syarat 50% dikembalikan ke negara, 50% dapat mjd miliknya. Wacana ini menimbulkan resistensi kuat politikus2 senayan dan masy. atas nama keadilan.

Terlepas siapa yg benar saya belajar ditengah hiruk pikuk dana siluman DKI ternyata korupsi 40M buat presiden sekelas Indonesia itu termasuk konyol. Dana legal japung gubernur DKI sekarang sebesar 0,8% APBD 120T (1T/tahun), dana itu sebagai konsesi proyek siluman DPRD senilai 12 trilyun setiap tahun, itu dana legal yg ditolak Ahok, itu yg membuat saya yakin dia tdk bersalah Sumber Waras dan reklamasi, logika saja kalau mau korupsi 100 milyar kenapa harus main resiko, tanda tangan saja APBD plus dana silumannya uang 1 trilyun/tahun sah menjadi miliknya.

Salah satu fakta sampai skrg Gus Dur adalah presiden Indonesia yg paling tdk punya uang,sejarah membuktikan bahkan menjadi presiden Gus Dur tetap tdk bisa mewujudkan impiannya menyelesaikan pembangunan pesantren miliknya di Ciganjur, bahkan waktu lengser direkeningnya hanya terdapat 70jt gaji terakhir.

Waktu membuktikan sampai sekarang secara de facto palestina dlm jajahan modern Israel, bayangkan saat itu bila rencana Gus Dur didukung hari ini mungkin anda melihat palestina sebagai negara berdaulat berdiri sejajar dg bangsa lain didunia. Sebuah kesalahan yang dulu membuat dia dicerca tapi sejarah membuktikan sampai sekarang palestina tetap terjajah modern.

Pengampunan dana korupsi, hari ini kita telah membuktikan ide Gus Dur saat itu benar. Terbukti dana2 itu juga disimpan negara2 penerimanya utk membangun sementara kita terus bergulat dg kebangkrutan. Sampai akhirnya Jokowi memberikan solusi tax amnesty . Akhirnya pun kita sekarang mengambil dana itu kembali dengan insentif bayangkan bila tahun 1999 semua dana itu kembali diskon 50% bukankah kita tdk perlu berhutang spt sekarang ?

Sudah terlalu banyak pemimpin benar dijatuhkan karena fitnah agama dan korupsi tapi koruptornya sendiri malah membangun jaringan politik, jaringan media, menguasai dunia maya utk membangun opini.

Sejarah telah memberikan kita pelajaran berharga utk tdk pernah percaya pada golongan,kelompok yang menggunakan isu,fitnah adu domba SARA sebagai alat mereka hanya kepanjangan tangan kekuatan lama yang ingin kembali. Mereka hanya ingin negeri ini terpecah-pecah agar mudah diambil kembali.

Gus Dur berani jujur dan berani beda
Dia berani dihujat dan berani dicerca karena benar
Dan sejarah negeri ini membuktikan bahwa dia benar.

Minggu, 25 September 2016

Gus Dur itu Cermin Kehidupan (Oleh : Sila Syahputra.S)


Mengenang KH. Abdurrahman Wahid

Gus Dur itu cermin kehidupan. Seseorang yang memahami Gus Dur maka terkoreksi dirinya.

Seorang Kiai saat melihat Gus Dur maka merasa peran keagamaannya tak seberapa dibanding Gus Dur.
Seorang Presiden yang memahami Gus Dur maka merasa kenegarawanannya masih jauh dari sempurna.
Saat aktivis demokrasi dan HAM melihat Gus Dur maka ia merasakan kontribusinya masih belum seberapa.
Tokoh-tokoh internasional saat memandang Gus Dur akan merasakan kegigihannya tak sekuat Gus Dur.
Seorang intelektual saat mencerna Gus Dur akan merasakan keilmuannya tak sedalam Gus Dur.
Seseorang yang sedang menapak jalur sufi, saat saksikan Gus Dur akan merasakan dirinya belum terbebas dari kepentingan dunia.
Seorang pejuang rakyat saat mengenal Gus Dur akan merasakan keberaniannya belum sekuat Gus Dur.