Kami mampir ke Abu Dhabi, UEA, sebelum mengikuti KTT OKI di Doha, Qatar. Saya gelisah karena media massa dan para politisi di tanah air sedang ramai meributkan biaya perjalanan luar negeri Presiden yang konon selama satu setengah tahun masa kepresidenan telah menghabiskan 52 milyar rupiah. Tapi dari diplomasi dalam kunjungan sehari itu, Presiden berhasil memperoleh komitmen dari Penguasa UEA, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, berupa bantuan hibah sebesar 200 juta dollar Amerika untuk Indonesia. Saya semprotkan berita itu kepada teman-teman wartawan,
“Kalian ributkan 52 milyar, ini baru satu tempat saja sudah dapat 200 juta dollar!”
Mereka cuma nyengir. Dan gugatan riuh-rendah tentang “pemborosan” 52 milyar itu tidak berhenti. Dan hibah 200 juta dollar itu tak sehuruf pun muncul dalam berita media massa.
Karena gugatan pemborosan itu, pada lawatan berikutnya ke Australia, rombongan Presiden tidak menyewa Boeing 737 milik GIA seperti biasanya, tapi meminjam Boeing 707, pesawat tua milik TNI. Walaupun tua, pesawat itu masih kelihatan gagah dan lebih gemuk ketimbang milik GIA. Take-off-nya mulus. Dan setelah berada di udara, tak terasa lagi bedanya dari pesawat baru.
Para penumpang bercengkerama menunggu akhir perjalanan, yakni Canberra, ibu kota Australia. Tapi, beberapa saat menjelang masuk kawasan udara Australia, pesawat tiba-tiba oleng. Seluruh penumpang menjerit. Pramugari berusaha menenangkan, tapi gagal menyembunyikan roman ngeri dari wajahnya sendiri. Pilot kemudian menjelaskan persoalan: pesawat tua itu bermesin ganda di setiap sayapnya, salah satu mesin di sayap kiri macet sehingga pesawat jadi tidak seimbang.
“Tak perlu kuatir”, kata pilot, “kita akan berusaha bertahan sampai Darwin, dan mendarat darurat disana. Harap berdoa menurut keyakinan masing-masing”.
Selanjutnya pesawat bagai menari-nari terbangnya, karena salah satu mesin di sayap kanan harus dimatikan (untuk mempertahankan keseimbangan) lalu dihidupkan lagi (untuk mempertahankan ketinggian) bolak-balik. Kabin pesawat senyap. Para penumpang tidak berjarak dari Tuhan.
Sekitar dua setengah jam seperti itu, sebelum akhirnya mendarat dengan selamat di bandara Darwin. Bersalaman dengan Presiden, pejabat setempat yang menyambut memperkenalkan diri,
“George Brown, Wali Kota Darwin”.
Presiden nampak heran, tapi tak berkata apa-apa.
Di ruang VVIP, Presiden berbisik kepada Wimar Witoelar,
“Kok malah Wali Kota Darwin? Lha John Howard-nya mana?”
“Lhah kita kan memang turun di Darwin, Gus!”
“Lho? Bukannya Canberra?”
Rupanya Presiden tidak tahu bahwa pesawat mendarat darurat di Darwin, bahkan sama sekali tidak menyadari kerusakan mesin dan joget udara dua setengah jam, karena beliau tidur dengan lelap sekali! Pemerintah Australia meminjamkan dua pesawat jet kecil untuk mengangkut rombongan Presiden melanjutkan perjalanan ke Canberra.
Rabu, 31 Agustus 2016
KISAH DIBALIK NAMA MBAH DUR DAN GUS DUR (Oleh : Sila Syahputra S)
Nama “Abdurrahman” bukanlah nama yang sulit dijumpai di sekeliling kita. Selain nama yang memang disunnahkan karena penggabungan antara kata “عبد (hamba)” dengan salah satu asmaul husna. Akan tetapi di kalangan pesantren nama tersebut khas sekali dengan dua tokoh ulama yang tidak asing di telinga. Abdurrahman Wahid (1940-2009) yang akrab dengan “Gus Dur”, dan Abdurrahman Chudlori (1944-2011) yang familiar dengan panggilan “Mbah Dur”.
Diantara Mbah Dur dan Gus Dur ternyata bukan hanya kesamaan atau kemiripan nama belaka, ada kisah dibalik pemberian nama yang sama antara kedua orang tua mereka. Mbah Dur adalah putra pertama dari Mbah KH. Chudlori (wafat 1977) dan Gus Dur putra dari KH. Wahid Hasyim (1914-1953).
Kyai Chudlori muda merupakan figur santri sejati dengan semangatnya mencari ilmu ke berbagai pesantren di nusantara, salah satunya di Tebuireng yang didirikan oleh Hadratusyiakh KH Hasyim As’ari. Di pesantren inilah Kyai Chudlori muda berteman dekat dengan Kayai Wahid Hasyim putra Mbah Hasyim Asy’ari.
Menurut cerita yang berkembang, konon antara Kyai Chudlori muda dan Kyai Wahid Hasyim bersepakat jika kelak mereka berdua mempunyai anak laki-laki maka diantara salah satunya akan diberi nama yang sama yaitu “Abdurrahman”.
Syahdan, setelah beberapa tahun Kyai Chudlori dan Kyai Wahid Hasyim berpisah, mereka berdua sama-sama mempunyai anak laki-laki dan akhirnya pun diberi nama sesuai apa yang mereka inginkan ketika masih sama-sama di pesantren. Kyai Chudlori memberi nama puteranya Abdurrahman Chudlori dan kyai Wahid Hasyim menamai puteranya Abdurrahman Wahid.
Bukan hanya nama yang sama, Gus Dur pun dipondokkan di pesantren teman ayahnya di Tegalrejo Magelang pada tahun 1957-1959 untuk mendapatkan ilmu dari Kyai Chudlori.
Dari situlah selain hubungan dzahir, Gus Dur sangat erat sekali komunikasi batin dengan Pesantren Tegalrejo. Ketika Gus Dur masih hidup hampir setiap tahunnya beliau selalu diundang dan hadir saat acara akhirus sanah di Tegalrejo.
Hingga saat ini pun hubungan itu masih terasa dimana perjuangan Gus Dur dalam memperjuangkan toleransi dan pluralisme juga diikuti dan diteruskan oleh KH. Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) putera terakhir dari Kyai Chudlori.
Diantara Mbah Dur dan Gus Dur ternyata bukan hanya kesamaan atau kemiripan nama belaka, ada kisah dibalik pemberian nama yang sama antara kedua orang tua mereka. Mbah Dur adalah putra pertama dari Mbah KH. Chudlori (wafat 1977) dan Gus Dur putra dari KH. Wahid Hasyim (1914-1953).
Kyai Chudlori muda merupakan figur santri sejati dengan semangatnya mencari ilmu ke berbagai pesantren di nusantara, salah satunya di Tebuireng yang didirikan oleh Hadratusyiakh KH Hasyim As’ari. Di pesantren inilah Kyai Chudlori muda berteman dekat dengan Kayai Wahid Hasyim putra Mbah Hasyim Asy’ari.
Menurut cerita yang berkembang, konon antara Kyai Chudlori muda dan Kyai Wahid Hasyim bersepakat jika kelak mereka berdua mempunyai anak laki-laki maka diantara salah satunya akan diberi nama yang sama yaitu “Abdurrahman”.
Syahdan, setelah beberapa tahun Kyai Chudlori dan Kyai Wahid Hasyim berpisah, mereka berdua sama-sama mempunyai anak laki-laki dan akhirnya pun diberi nama sesuai apa yang mereka inginkan ketika masih sama-sama di pesantren. Kyai Chudlori memberi nama puteranya Abdurrahman Chudlori dan kyai Wahid Hasyim menamai puteranya Abdurrahman Wahid.
Bukan hanya nama yang sama, Gus Dur pun dipondokkan di pesantren teman ayahnya di Tegalrejo Magelang pada tahun 1957-1959 untuk mendapatkan ilmu dari Kyai Chudlori.
Dari situlah selain hubungan dzahir, Gus Dur sangat erat sekali komunikasi batin dengan Pesantren Tegalrejo. Ketika Gus Dur masih hidup hampir setiap tahunnya beliau selalu diundang dan hadir saat acara akhirus sanah di Tegalrejo.
Hingga saat ini pun hubungan itu masih terasa dimana perjuangan Gus Dur dalam memperjuangkan toleransi dan pluralisme juga diikuti dan diteruskan oleh KH. Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) putera terakhir dari Kyai Chudlori.
Minggu, 07 Agustus 2016
Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Oleh :KH Abdurrahman Wahid)
Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. <>Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
***
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
***
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
***
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
***
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).
Beberapa Sisi Teladan Dari Gus Dur (Oleh :Ronny Leung)
Beberapa Sisi Teladan Dari Gus Dur
(Oleh :Ronny Leung)
Belajar ketokohan dari sosok Gus Dur dalam hidupnya kita akan menemui beberapa sisi yang patut kita contoh dalam kehidupan kita
1.Humoris
Sudah menjadi trend mark Gus Dur itu seorang yang mudah bergaul dan berwawasan luas, ciri khasnya adalah humor. Humor menjadi senjata pamungkasnya sehingga tokoh-tokoh yang terkenal kaku pun bisa tertawa terbahak-bahak bersamanya contoh Raja Fahd dari Saudi, Fidel Castro,Kuba dll
2.Rendah Hati
Gus Dur adalah sosok yang humble, membumi terhadap siapapun baik seorang presiden sampai penjual duren menjadi saksi atas kerendahan hati yang luar biasa dari keturunan biru pendiri bangsa ini.
3.Logis
Beberapa pikiran dari Gus Dur selalu menjadi kontroversi pada jamanya, dia sering dianggap nyeleneh termasuk gagasannya tentang pluralisme yang dituduh sesat dan liberal saat itu tapi waktu membuktikan bahwa ternyata pluralisme sama spt Bhinneka Tunggal Ika, persatuan dalam perbedaan yang memang harus kita miliki sebagai bangsa yang majemuk Indonesia ini. Gus Dur membawa perubahan besar dalam berpikir bangsa ini. Bangsa yang sebelumnya feodalistik, terpecah-pecah karena saling curiga dan adu domba menjadi sadar dan bersatu menjadi masyarakat yg logis
Gaya pemikiran Gus Dur karena diwariskan dari kakeknya HadratusSyaikh Hasyim Asyari'i termasuk salah satu orang cerdas bangsa ini, ayahnya seorang kyai dan diplomat, ibunya seorang yang berpikiran modern membentuk Gus Dur menjadi sosok logis,kritis dan terbuka.
4. Berani Beda
Salah satu hal yang paling menonjol dari Gus Dur berani melakukan apa yang diucapkannya meskipun kadang itu merugikannya. Dia berani menentang pendapat umum karena benar. Mungkin salah satu tokoh di era Orba yang paling berani menentang penguasa saat itu adalah Gus Dur, gayanya yang arif dan tidak frontal kadang cenderung diplomatis membuat pemimpin saat itu yg otoriter mati kutu.
5.Murah Hati
Sisi yang patut dikagumi pada Gus Dur salah satunya karena keberaniannya berkorban untuk orang lain, bangsa dan negaranya. Bahkan mungkin dalam kenyataan negeri ini salah satu presiden yang tidak menjadi konglomerat setelah menjadi presiden negeri ini mungkin Gus Dur. Hal itu sering dilakukannya sejak jaman masih muda sering dia memberikan miliknya untuk kebahagian orang lain
Mungkin masih banyak sisi lain yang bisa kita kupas dari tokoh seperti Gus Dur ini, seorang yang humoris, rendah hati, logis, berani beda dan murah hati. Semoga kita dapat meneladani sosok ini bersama dan mulai membuat perubahan pada sekeliling kita
(Oleh :Ronny Leung)
Belajar ketokohan dari sosok Gus Dur dalam hidupnya kita akan menemui beberapa sisi yang patut kita contoh dalam kehidupan kita
1.Humoris
Sudah menjadi trend mark Gus Dur itu seorang yang mudah bergaul dan berwawasan luas, ciri khasnya adalah humor. Humor menjadi senjata pamungkasnya sehingga tokoh-tokoh yang terkenal kaku pun bisa tertawa terbahak-bahak bersamanya contoh Raja Fahd dari Saudi, Fidel Castro,Kuba dll
2.Rendah Hati
Gus Dur adalah sosok yang humble, membumi terhadap siapapun baik seorang presiden sampai penjual duren menjadi saksi atas kerendahan hati yang luar biasa dari keturunan biru pendiri bangsa ini.
3.Logis
Beberapa pikiran dari Gus Dur selalu menjadi kontroversi pada jamanya, dia sering dianggap nyeleneh termasuk gagasannya tentang pluralisme yang dituduh sesat dan liberal saat itu tapi waktu membuktikan bahwa ternyata pluralisme sama spt Bhinneka Tunggal Ika, persatuan dalam perbedaan yang memang harus kita miliki sebagai bangsa yang majemuk Indonesia ini. Gus Dur membawa perubahan besar dalam berpikir bangsa ini. Bangsa yang sebelumnya feodalistik, terpecah-pecah karena saling curiga dan adu domba menjadi sadar dan bersatu menjadi masyarakat yg logis
Gaya pemikiran Gus Dur karena diwariskan dari kakeknya HadratusSyaikh Hasyim Asyari'i termasuk salah satu orang cerdas bangsa ini, ayahnya seorang kyai dan diplomat, ibunya seorang yang berpikiran modern membentuk Gus Dur menjadi sosok logis,kritis dan terbuka.
4. Berani Beda
Salah satu hal yang paling menonjol dari Gus Dur berani melakukan apa yang diucapkannya meskipun kadang itu merugikannya. Dia berani menentang pendapat umum karena benar. Mungkin salah satu tokoh di era Orba yang paling berani menentang penguasa saat itu adalah Gus Dur, gayanya yang arif dan tidak frontal kadang cenderung diplomatis membuat pemimpin saat itu yg otoriter mati kutu.
5.Murah Hati
Sisi yang patut dikagumi pada Gus Dur salah satunya karena keberaniannya berkorban untuk orang lain, bangsa dan negaranya. Bahkan mungkin dalam kenyataan negeri ini salah satu presiden yang tidak menjadi konglomerat setelah menjadi presiden negeri ini mungkin Gus Dur. Hal itu sering dilakukannya sejak jaman masih muda sering dia memberikan miliknya untuk kebahagian orang lain
Mungkin masih banyak sisi lain yang bisa kita kupas dari tokoh seperti Gus Dur ini, seorang yang humoris, rendah hati, logis, berani beda dan murah hati. Semoga kita dapat meneladani sosok ini bersama dan mulai membuat perubahan pada sekeliling kita
Islam Dan Fungsi Keadilan ( Oleh: KH. Abdurrahman Wahid )
Islam Dan Fungsi Keadilan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa
(nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini. Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk
konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in
kuntum laa ta’lamuun).
Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).
*****
Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara. Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih
oleh seluruh warga bangsa. Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat
dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang
pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.
*****
Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an
menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam
adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena. Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti
penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan kenyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum?
Sederhana bukan?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa
(nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini. Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk
konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in
kuntum laa ta’lamuun).
Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).
*****
Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara. Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih
oleh seluruh warga bangsa. Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat
dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang
pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.
*****
Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an
menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam
adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena. Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti
penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan kenyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum?
Sederhana bukan?
Islam Dan McLuhan Di Surabaya ( Oleh: KH. Abdurrahman Wahid )
Islam Dan McLuhan Di Surabaya
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Penulis diundang oleh harian ini untuk memberikan ceramah maulid Nabi Muhammad saw, beberapa waktu yang lalu, yang di hadiri ribuan massa, diantaranya para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Penulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza dari Mesir, Maria Pakpahan
dan dr. Sugiat (DPP PKB Jakarta). H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini, menyatakan peredaran opplaag harian tersebut kini sudah mencapai 120 ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan pembaca yang rata di Jawa Timur. Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria Pakpahan tercapai, ketika digelar pembacaan shalawat Nabi dari Habib Al-Haddad dan sajak burdah dari Imam Al-Busyairi, sesuatu yang belum pernah mereka
saksikan. Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah para peraga kedua jenis peragaan agama itu berlatih atas kehendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? Jawaban gemuruh tidak, berarti mereka tidak pernah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dari
pembiayaan acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama. Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh George
McLuhan, seorang pakar komunikasi, sebagai “happening” (kejadian). Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seperti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruhan, setiap tahun dua kali. Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, setiap kelompok bermain sekitar 5-10 menit.
Mereka datang sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pengenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.
*****
Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terbatas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disediakan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh kondang alm. KH. Yasin
Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara haul tersebut, tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara haul tersebut, dan mereka datang
atas dasar kesadaran mereka sendiri. Ternyata, dalam hal-hal yang terjadi tanpa disiapkan matang-matang terlebih dahulu, pengamatan George McLuhan itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal tersebut? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: selama hal-hal itu dapat dianggap membawa berkah Tuhan,
dan hal itu dibuktikan oleh hal-hal di atas, maka selama itu pula kesuka-relaan akan menjadi pendorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada yang dapat melarangnya.
Dengan kata lain, kesuka-relaan atas dasar keagamaan itu, adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang tidak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi saw itu, karena keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita untuk menerapkan secara lebih luas prinsip
kesuka-relaan di atas. Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nyata bagi kita, bahwa bentukan sebuah sistem politik yang memiliki kandungan sangat beragam, benar-benar diperlukan saat ini. Jelaslah bahwa, aspek kesuka-relaan dan keterbukaan sistem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan lanscape kehidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening sebagaimana yang diajarkan McLuhan itu ternyata memiliki arti yang mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama tersebut. Pengingkaran terhadap kesuka-relaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem politik yang memungkinkan
seseorang berbohong kepada rakyat.
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Penulis diundang oleh harian ini untuk memberikan ceramah maulid Nabi Muhammad saw, beberapa waktu yang lalu, yang di hadiri ribuan massa, diantaranya para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Penulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza dari Mesir, Maria Pakpahan
dan dr. Sugiat (DPP PKB Jakarta). H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini, menyatakan peredaran opplaag harian tersebut kini sudah mencapai 120 ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan pembaca yang rata di Jawa Timur. Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria Pakpahan tercapai, ketika digelar pembacaan shalawat Nabi dari Habib Al-Haddad dan sajak burdah dari Imam Al-Busyairi, sesuatu yang belum pernah mereka
saksikan. Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah para peraga kedua jenis peragaan agama itu berlatih atas kehendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? Jawaban gemuruh tidak, berarti mereka tidak pernah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dari
pembiayaan acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama. Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh George
McLuhan, seorang pakar komunikasi, sebagai “happening” (kejadian). Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seperti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruhan, setiap tahun dua kali. Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, setiap kelompok bermain sekitar 5-10 menit.
Mereka datang sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pengenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.
*****
Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terbatas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disediakan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh kondang alm. KH. Yasin
Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara haul tersebut, tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara haul tersebut, dan mereka datang
atas dasar kesadaran mereka sendiri. Ternyata, dalam hal-hal yang terjadi tanpa disiapkan matang-matang terlebih dahulu, pengamatan George McLuhan itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal tersebut? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: selama hal-hal itu dapat dianggap membawa berkah Tuhan,
dan hal itu dibuktikan oleh hal-hal di atas, maka selama itu pula kesuka-relaan akan menjadi pendorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada yang dapat melarangnya.
Dengan kata lain, kesuka-relaan atas dasar keagamaan itu, adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang tidak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi saw itu, karena keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita untuk menerapkan secara lebih luas prinsip
kesuka-relaan di atas. Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nyata bagi kita, bahwa bentukan sebuah sistem politik yang memiliki kandungan sangat beragam, benar-benar diperlukan saat ini. Jelaslah bahwa, aspek kesuka-relaan dan keterbukaan sistem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan lanscape kehidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening sebagaimana yang diajarkan McLuhan itu ternyata memiliki arti yang mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama tersebut. Pengingkaran terhadap kesuka-relaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem politik yang memungkinkan
seseorang berbohong kepada rakyat.
Jumat, 05 Agustus 2016
Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan (Oleh: KH. Abdurrahman Wahid)
Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya, kitab suci Al-Qur’an sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia
akan merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islam diinan falan yuqbala minhu wahua fi al-akhirati min al-khasirin). Bukankah istilah merugi, dalam dunia perdagangan merupakan istilah profesional, dalam hal ini dipakai untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu
tidak memperoleh pahala?
Istilah-istilah lain dari dunia profesi juga dipakai dalam pengertian yang sama oleh kitab suci tersebut. Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Ia akan melipatgandakan imbalannya” (man yuqridhillaa qardhan hasanan fayudha’ifahu), jelas menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi. Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci tersebut: kitab suci itu bukanlah dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau. Ketika Allah berfirman: “barang siapa menginginkan panenan di akhirat kelak, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuriidu harth al-akhirati nazid lalu fi harthihi), yang lagi-lagi berbicara tentang pahala di akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Bahwa istilah-istilah perdagangan dan pertanian digunakan untuk keinginan manusia memperoleh pahala bagi amal perbuatannya, merupakan penghargaan yang sangat tinggi atas profesi seseorang.
*****
Dalam sebuah ayat suci Al-Qur’an dinyatakan: “orang-orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (wa al-mufuuna bi ‘ahdihim idza ‘aahadu) jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika
mengucapkan prasetia? Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Hal inilah yang justru hilang dari kehidupan kaum muslimin dalam beberapa abad yang silam, karena memberikan tempat terlalu banyak
kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan mereka, alias pemberian perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam diri kehidupan bangsa-bangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, banga-bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesi. Dengan
sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaran-ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya,
diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional. Kita ambil sebuah firman dalam kitab suci Al-Qur’an: “jika kalian di sapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih
baik lagi” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha), jelas-jelas memerlukan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang. Artinya, kalau barang produksi anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas
pernyataan baik yang diucapkan. Hanya dengan cara itulah seorang muslim dapat membuat interpretasi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia ini.
*****
Kalau hal ini kita renungkan secara mendalam, jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang
bernama kekuasaan. Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an: “apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum non-muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, Utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian” (maa afaa Allahu min ahli al-Qurra fa lillahi wa rasulihi wa lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masaakini wa ibni al-sabil, kaila yakuuna duulatan baina al-aghniya’ minkum). Bukankah Islam mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan? Ini tentu berarti Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, dan bukannya pendekatan politis dalam memandang sesuatu persoalan. Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain
masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari pada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.
Poso, 24/5/2002
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya, kitab suci Al-Qur’an sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia
akan merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islam diinan falan yuqbala minhu wahua fi al-akhirati min al-khasirin). Bukankah istilah merugi, dalam dunia perdagangan merupakan istilah profesional, dalam hal ini dipakai untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu
tidak memperoleh pahala?
Istilah-istilah lain dari dunia profesi juga dipakai dalam pengertian yang sama oleh kitab suci tersebut. Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Ia akan melipatgandakan imbalannya” (man yuqridhillaa qardhan hasanan fayudha’ifahu), jelas menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi. Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci tersebut: kitab suci itu bukanlah dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau. Ketika Allah berfirman: “barang siapa menginginkan panenan di akhirat kelak, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuriidu harth al-akhirati nazid lalu fi harthihi), yang lagi-lagi berbicara tentang pahala di akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Bahwa istilah-istilah perdagangan dan pertanian digunakan untuk keinginan manusia memperoleh pahala bagi amal perbuatannya, merupakan penghargaan yang sangat tinggi atas profesi seseorang.
*****
Dalam sebuah ayat suci Al-Qur’an dinyatakan: “orang-orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (wa al-mufuuna bi ‘ahdihim idza ‘aahadu) jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika
mengucapkan prasetia? Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Hal inilah yang justru hilang dari kehidupan kaum muslimin dalam beberapa abad yang silam, karena memberikan tempat terlalu banyak
kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan mereka, alias pemberian perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam diri kehidupan bangsa-bangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, banga-bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesi. Dengan
sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaran-ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya,
diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional. Kita ambil sebuah firman dalam kitab suci Al-Qur’an: “jika kalian di sapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih
baik lagi” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha), jelas-jelas memerlukan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang. Artinya, kalau barang produksi anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas
pernyataan baik yang diucapkan. Hanya dengan cara itulah seorang muslim dapat membuat interpretasi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia ini.
*****
Kalau hal ini kita renungkan secara mendalam, jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang
bernama kekuasaan. Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an: “apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum non-muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, Utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian” (maa afaa Allahu min ahli al-Qurra fa lillahi wa rasulihi wa lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masaakini wa ibni al-sabil, kaila yakuuna duulatan baina al-aghniya’ minkum). Bukankah Islam mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan? Ini tentu berarti Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, dan bukannya pendekatan politis dalam memandang sesuatu persoalan. Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain
masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari pada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.
Poso, 24/5/2002
Islam Dan Hak Asasi Manusia ( Oleh: KH. Abdurrahman Wahid )
Islam Dan Hak Asasi Manusia
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal, yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada.
Nasionalisme adalah idiologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudaian melahirkan Pakistan, yang tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan negeri itu melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?
*****
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal Fiqh /Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri
kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.
Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang. Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum Muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu.
Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-islaman kita.
*****
Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur’an dan Al-Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya. Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Kitab Suci Al-qur’an, “tiadalah yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan” (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) “hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri” (yaduuru al-hukmu ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman) jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan”.
Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu di larang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di setiap masa dan tempat (yasluhu kulla zamanin wa makan). Indah bukan,untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal, yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada.
Nasionalisme adalah idiologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudaian melahirkan Pakistan, yang tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan negeri itu melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?
*****
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal Fiqh /Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri
kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.
Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang. Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum Muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu.
Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-islaman kita.
*****
Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur’an dan Al-Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya. Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Kitab Suci Al-qur’an, “tiadalah yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan” (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) “hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri” (yaduuru al-hukmu ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman) jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan”.
Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu di larang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di setiap masa dan tempat (yasluhu kulla zamanin wa makan). Indah bukan,untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?
Kamis, 04 Agustus 2016
Islam Dan Kesejahteraan Rakyat (Oleh: KH. Abdurrahman Wahid)
Islam Dan Kesejahteraan Rakyat
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam ushul fiqh (teori Hukum Islam), dikemukakan keharusan seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, sebagai tugas yang tidak dapat tidak harus dilaksanakan: “kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin” (tasyarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bial-maslahah), menetapkan hal ini dengan sangat jelas. Tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang lain, yang dirumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip kemaslahatan
itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata “kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen Harvard dan mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk India, sebagai “the affluent society”. Dalam bahasa pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan lain, yaitu masyarakat sejahtera yang dirumuskan dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk memperoleh
kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggapnya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempatkan kesejahteraan/keadilan-kemakmuran sebagai
sesuatu yang esensial bagi kehidupan kita. Dalam hal ini, menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama nilainya
dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan oleh ushul-fiqh. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD 1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, akan merusak rumusan tujuan bernegara tersebut?
*****
Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan negara-negara teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masalah keadilan di negeri-negeri tersebut masih belum terwujud seluruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan hukum belaka, hingga keadilan politik dan budaya belum terwujud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah negara-negara tersebut demokratis ataukah belum?. Memang terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik, apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: benarkah demokrasi berdasarkan hak bersuara bagi tiap individu (one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi yang sesungguhnya?
Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar ia dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan demokrasi? Jawaban yang sungguh-sungguh dan bernar-benar berbobot akan menentukan nilai wacana kaum muslimin atas hal ini, hingga
kesimpulan yang didapatpun akan mempunyai nilai penuh bagi kehidupan kita. Pemikiran yang jujur tentang hal ini memang sangat diperlukan, jika diinginkan wacana itu sendiri mempunyai nilai dan arti yang tinggi. Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya arti upaya tersebut dapat dilihat pada tidak tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, walaupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahteraan
hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya kepada kebijakan ekonomi dan peraturan-peraturan semenjak kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepentingan orang kaya/cabang atas dari masyarakat kita, bukan kepentingan rakyat banyak.
*****
Karena eratnya hubungan antara kebijakan/tindakan pemerintah di bidang ekonomi dan pencapaian kesejahteraan, jelas bagi kita ajaran Islam memang belum dilaksanakan dengan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan korupsi dan pungutan-pungutan liar yang ada maka
secara keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset-aset kekayaan bangsa, dan dari penguasaan seperti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menunjukkan keharusan bagi kita untuk berani banting
setir/kemudi dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari garis tersebut. Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Jelaslah bagi kita bahwa, pencapaian kesejahteraan yang merata bagi seluruh bangsa kita, merupakan amanat agama juga? Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan dan kita tetap tidak melakukan perbaikan? Bukankah penjualan tanah dan aset-aset lain di pedesaan kita oleh rakyat
kecil, sekedar untuk memperoleh makanan saja, pada saat tulisan ini dibuat, merupakan kejahatan agama yang tidak dapat dimaafkan? Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas, membawa kita kepada keharusan menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi: pengembangan
ekonomi rakyat dalam bentuk memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dalam hal ini, segenap sumber-sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya tersebut, yang berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan pemerintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan permodalan swasta dalam dan luar negeri. Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajaran Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa hal itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan kedua-duanya. Cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat sulit dalam pelaksanaan, untuk melakukan upaya banting setir/kemudi di bidang ekonomi, bukan?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam ushul fiqh (teori Hukum Islam), dikemukakan keharusan seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, sebagai tugas yang tidak dapat tidak harus dilaksanakan: “kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin” (tasyarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bial-maslahah), menetapkan hal ini dengan sangat jelas. Tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang lain, yang dirumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip kemaslahatan
itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata “kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen Harvard dan mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk India, sebagai “the affluent society”. Dalam bahasa pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan lain, yaitu masyarakat sejahtera yang dirumuskan dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk memperoleh
kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggapnya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempatkan kesejahteraan/keadilan-kemakmuran sebagai
sesuatu yang esensial bagi kehidupan kita. Dalam hal ini, menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama nilainya
dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan oleh ushul-fiqh. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD 1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, akan merusak rumusan tujuan bernegara tersebut?
*****
Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan negara-negara teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masalah keadilan di negeri-negeri tersebut masih belum terwujud seluruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan hukum belaka, hingga keadilan politik dan budaya belum terwujud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah negara-negara tersebut demokratis ataukah belum?. Memang terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik, apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: benarkah demokrasi berdasarkan hak bersuara bagi tiap individu (one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi yang sesungguhnya?
Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar ia dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan demokrasi? Jawaban yang sungguh-sungguh dan bernar-benar berbobot akan menentukan nilai wacana kaum muslimin atas hal ini, hingga
kesimpulan yang didapatpun akan mempunyai nilai penuh bagi kehidupan kita. Pemikiran yang jujur tentang hal ini memang sangat diperlukan, jika diinginkan wacana itu sendiri mempunyai nilai dan arti yang tinggi. Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya arti upaya tersebut dapat dilihat pada tidak tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, walaupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahteraan
hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya kepada kebijakan ekonomi dan peraturan-peraturan semenjak kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepentingan orang kaya/cabang atas dari masyarakat kita, bukan kepentingan rakyat banyak.
*****
Karena eratnya hubungan antara kebijakan/tindakan pemerintah di bidang ekonomi dan pencapaian kesejahteraan, jelas bagi kita ajaran Islam memang belum dilaksanakan dengan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan korupsi dan pungutan-pungutan liar yang ada maka
secara keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset-aset kekayaan bangsa, dan dari penguasaan seperti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menunjukkan keharusan bagi kita untuk berani banting
setir/kemudi dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari garis tersebut. Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Jelaslah bagi kita bahwa, pencapaian kesejahteraan yang merata bagi seluruh bangsa kita, merupakan amanat agama juga? Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan dan kita tetap tidak melakukan perbaikan? Bukankah penjualan tanah dan aset-aset lain di pedesaan kita oleh rakyat
kecil, sekedar untuk memperoleh makanan saja, pada saat tulisan ini dibuat, merupakan kejahatan agama yang tidak dapat dimaafkan? Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas, membawa kita kepada keharusan menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi: pengembangan
ekonomi rakyat dalam bentuk memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dalam hal ini, segenap sumber-sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya tersebut, yang berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan pemerintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan permodalan swasta dalam dan luar negeri. Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajaran Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa hal itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan kedua-duanya. Cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat sulit dalam pelaksanaan, untuk melakukan upaya banting setir/kemudi di bidang ekonomi, bukan?
Rabu, 03 Agustus 2016
Islam: Kajian Klasik Ataukah Wilayah? (Oleh: KH.Abdurrahman Wahid )
Islam: Kajian Klasik Ataukah Wilayah?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pada waktu mendiang Dr. Soedjatmoko masih menjabat sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Tokyo, penulis diundang ke sana untuk mengemukakan pandangan tertulis mengenai kajian Islam. Undangan tersebut ternyata membawa kepada sebuah pengembaraan yang
sangat menarik hati penulis. Di samping bertemu Dr. Hassan Hanafie, yang sangat dihormati penulis, penulis juga bersama Dr. Soedjatmoko menonton film Gandhi di salah sebuah bioskop di Tokyo. Di situlah penulis mendapatkan gambaran yang sangat hidup tentang diri tokoh pejuang anti-kekerasan tersebut, yang selama ini hanya penulis kenal dari buku-buku belaka.
Penulis juga sempat di taman Jojogi Park bersama Dr. Soedjatmoko, untuk melihat bagaimana masyarakat Jepang menampung aspirasi anak muda yang gila dengan musik barat mutakhir, dan menari/berdansa dengan iramanya. Dari pada mengganggu masyarakat di daerah tempat tinggal/pemukiman, aspirasi seperti itu disediakan wadah penampungan, dari pada ditindak secara represif. Mungkin hal ini setara dengan adanya taman Hayde Park di tengah-tengah kota London, tempat siapapun boleh berdemonstrasi di tengah-tengah hingar bingarnya kota. Penyaluran aksi protes seperti ini, di tempat-tempat umum, sebenarnya telah ada dalam budaya Jawa, dengan adanya alun-alun. Dalam konsep budaya semula, alun-alun juga berfungsi sebagai tempat warga negara yang
ingin menyampaikan protes pada keraton atas sesuatu hal, dengan cara duduk di tengah-tengah hujan lebat dan sengatan matahari. Raja yang mengetahui hal itu, akan segera mengadakan pemeriksaan siapa yang bersalah dalam hal ini. Yang tidak jelas, kalau Raja sendiri yang bersalah, apakah sangsi yang harus dijalaninya?
*****
Dalam presentasinya, di hadapan staf Dr. Soedjatmoko, penulis menyatakan bahwa kajian Islam tidak dapat hanya bersifat tunggal. Kajian tunggal itu, sebagaimana dijalankan oleh beberapa perguruan Islam sendiri, hanya akan melahirkan kajian klasik tentang ajaran Islam. Kalau itu yang terjadi, maka hanya ada satu warna kajian Islam, yang sebenarnya menjadi inti formalisme agama dengan ujung Negara Islam. Nah, kalau kita tidak menginginkan negara seperti itu, apakah yang harus dilakukan di bidang kajian? Untuk menghindarinya, harus dibuat lembaga yang melakukan kajian kawasan
(area studies) bagi bangsa-bangsa muslim. Dengan demikian, di samping persamaan-persamaan ajaran yang dimiliki kaum muslimin se-dunia, seperti peribadatan dalam rukun Islam, yang menunjukkan persamaan penerapan ibadat itu sendiri oleh masyarakat, juga pengetahuan kita akan perbedaan dalam cara beribadat itu. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan yang dimiliki sebuah kawasan muslim dengan/dari kawasan-kawasan lain akan memperkaya pandangan kita tentang bagimana Islam dijalankan oleh masyarakat-masyarakat muslim yang saling berbeda tersebut. Hanya dengan pengetahuan seperti itulah kaum muslimin akan mengenal diri mereka dengan lebih baik.Kajian kawasan yang diusulkan penulis adalah: Islam di kawasan Afrika Hitam, kawasan Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, Islam di kawasan peradaban Turko-Persia-Afghan, kawasan Asia Selatan, kawasan Asia Tenggara dan kaum minoritas muslim di negeri-negeri bertehnologi maju
(advanced countries). Digabungkan dengan sebuah pusat kajian klasik, dapatlah diharapkan kita akan memiliki pusat-pusat kajian (study centers) yang akan sangat memperkaya rangkaian tindakan-tindakan untuk memajukan agama tersebut.
*****
Kewajiban di atas, sebagian telah dipikul oleh berbagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di negara kita. Tetapi wajah klasik Islam yang masih mendominasi kehidupan kaum muslimin di luar kampus, akan membawa gambaran yang keliru tentang Islam. Agama ini bukan hanya milik sebuah golongan atau dimonopoli oleh sebuah pihak saja, melainkan juga dominasi tampak nyata melalui berbagai gerakan dan institusi yang mewakili agama tersebut. Sebuah upaya untuk mengakui beberapa perbedaan antara berbagai penghayatan Islam di kawasan-kawasan dan lembaga-lembga tersebut, justru menampilkan kekayaan yang besar. Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kosmopolitanisme Islam justru di bangun oleh kekayaan yang berbeda-beda tersebut. Karena itu,
sangat wajarlah apabila kekayaan seperti itu dimunculkan oleh studi kawasan yang berbeda-beda. Mengingkari hal ini, berarti menolak kenyataan empirik yang ada dalam Islam sejak lahir sebagai agama samawi/langit.
Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah dalam kenyataan sejarah Islam sendiri. Hal itu diperkuat pula oleh firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian dalam bentuk bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa, untuk saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya yang termulya di antara kalian di (mata) Allah adalah mereka yang paling bertaqwa” (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untha waja’alnaakum syu’uuban wa qabaaila li ta’arafu, inna akramakum inda Allahi atqakum). Perbedaan itulah yang menolak gagasan Negara Islam, karena penolakan Islam terhadap uniformitas masyarakat yang dipaksakan oleh sebuah kekuasaan.
Islam: Perjuangan Etis Ataukah Idiologis? (Oleh: KH. Abdurrahman Wahid )
Kedaulatan Rakyat
Islam: Perjuangan Etis Ataukah Idiologis?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pada suatu pagi, selepas berjalan-jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya arti pemahaman arti yang benar,
tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat. Padahal, justru Islam-/lah/ pembawa pesan-pesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkansecara benar.
Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (/wa ma arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin/), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” Ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamiin” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (/idza ukhriju min dziyarihim/).
Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemukakan bahwa kitab suci Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang yang merugi (perniagaannya)” (/wa hua fil akhirati min al-khasiriin/). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik” (/yuqridhillaha qardhan hasanan/), serta ayat “barang siapa
menginginkan panen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya” (/man kaana yuridu harsa al-akhirati nazid lahu fi hartsihi/).
*****
Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua” (/kaila yakuuna duulatan baina al-aghniyaa’i minkum/). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-qur’an adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia/bai’at dari suku-suku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih//ahl halli wa al-aqdi//electors baik langsung maupun tidak (seperti MPR-RI sekarang), diteruskan dengan sistem kerajaan/keturunan di satu sisi dan kepala negara / kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta para pemimpin yang melalui /cuup d’etat/ di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.
Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di jaman Nabi saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaan-kerajaan lokal dari dinasti /Murabbitiin/ di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara-bangsa (/nation state/) dan negara kota (/city state/). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negara-bangsa, seperti Kwait dan Qatar.
*****
Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (/mujtama’/ atau /society/), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat/ummah dalam pengertian ini. Sidney Jones mengupas perubahan arti kata ini dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakan-gerakan Islam di sini belaka.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konskwensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai idiologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal idiologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Dengan demikian, negara dapat saja didirikan tanpa idiologi Islam, untuk menyantuni hak-hak semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun non-muslim.
Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah idiologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyatan praktis. Sedangkan Republik Indonesia (RI) tanpa menggunakan idiologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, menghilangkan kesenjangan itu dengan tidak menggunakan agama sebagai idiologi politik, yang berakibat pada pemilahan warga negara muslimin dari non-muslimin. Maka, terjadilah proses alami kaum muslimin dalam memperjuangkan idiologi masyarakat yang mereka ingini melalui upaya menegakkan etika Islam, bukannya idiologi Islam. Bukankah ini lebih rasional?
Islam: Perjuangan Etis Ataukah Idiologis?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pada suatu pagi, selepas berjalan-jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya arti pemahaman arti yang benar,
tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat. Padahal, justru Islam-/lah/ pembawa pesan-pesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkansecara benar.
Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (/wa ma arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin/), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” Ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamiin” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (/idza ukhriju min dziyarihim/).
Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemukakan bahwa kitab suci Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang yang merugi (perniagaannya)” (/wa hua fil akhirati min al-khasiriin/). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik” (/yuqridhillaha qardhan hasanan/), serta ayat “barang siapa
menginginkan panen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya” (/man kaana yuridu harsa al-akhirati nazid lahu fi hartsihi/).
*****
Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua” (/kaila yakuuna duulatan baina al-aghniyaa’i minkum/). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-qur’an adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia/bai’at dari suku-suku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih//ahl halli wa al-aqdi//electors baik langsung maupun tidak (seperti MPR-RI sekarang), diteruskan dengan sistem kerajaan/keturunan di satu sisi dan kepala negara / kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta para pemimpin yang melalui /cuup d’etat/ di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.
Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di jaman Nabi saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaan-kerajaan lokal dari dinasti /Murabbitiin/ di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara-bangsa (/nation state/) dan negara kota (/city state/). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negara-bangsa, seperti Kwait dan Qatar.
*****
Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (/mujtama’/ atau /society/), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat/ummah dalam pengertian ini. Sidney Jones mengupas perubahan arti kata ini dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakan-gerakan Islam di sini belaka.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konskwensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai idiologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal idiologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Dengan demikian, negara dapat saja didirikan tanpa idiologi Islam, untuk menyantuni hak-hak semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun non-muslim.
Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah idiologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyatan praktis. Sedangkan Republik Indonesia (RI) tanpa menggunakan idiologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, menghilangkan kesenjangan itu dengan tidak menggunakan agama sebagai idiologi politik, yang berakibat pada pemilahan warga negara muslimin dari non-muslimin. Maka, terjadilah proses alami kaum muslimin dalam memperjuangkan idiologi masyarakat yang mereka ingini melalui upaya menegakkan etika Islam, bukannya idiologi Islam. Bukankah ini lebih rasional?
Langganan:
Postingan (Atom)